Zefanya

Fotografi dan Teks oleh Adwit B. Pramono

Pernikahan serta institusi keagamaan berperan penting dalam integrasi sosial mereka ke masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak akan tampak perlakuan berbeda. Namun, bila berkaitan dengan hak-hak sipil, mereka tidak memiliki kejelasan status dan masa depan. Persoalan ini diperparah dengan pandemi yang melanda negeri.

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Beragam aroma—campur aduk—menyapa kami sejak memasuki gerbang kota hingga sepanjang jalan menuju pusat Kota Bitung, Sulawesi Utara. Sebagian aroma itu terasa sangat familiar: aroma khas kopra, bau amis ikan, sesekali tercium bau fuli pala, serta pekatnya aroma debu. Kota kecil berpenduduk 225 ribu jiwa itu adalah pusat industri perikanan. Riuh suara dari pelabuhan peti kemas, pelabuhan penumpang, dermaga perikanan, belasan pabrik, terminal BBM hingga puluhan truk kontainer hilir mudik menggerakkan perekonomian kota.

Kehadiran industri ini terdengar sampai jauh, tapi sedikit yang dapat menghargai peran dan potensinya. Meski kecil, keberlangsungan industri perikanan itu secara tidak langsung bergantung pada komunitas orang-orang yang kesehariannya dijuluki “Sapi” dan “Pisang”. Sudah beberapa tahun belakangan istilah tersebut lazim diucapkan di antara warga. Kedua istilah itu adalah akronim yang merujuk pada komunitas orang-orang etnis Sangir-Filipina atau Filipina-Sangir.

Banyak yang mengatakan sulit untuk bisa menemui mereka, selain karena mereka sering melaut, mereka memang cenderung tidak mau tampak menonjol di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Keberadaan orang-orang Filipina mulai terdeteksi sejak 2010. Namun, hal ini baru menjadi pembahasan serius pada 2015 saat pelaksanaan Pilkada. Salah satu pihak diduga memanfaatkan warga “stateless” untuk memperoleh suara lebih pada kontestasi politik lokal tersebut.

Banyak upaya yang mereka lakukan untuk menghindar, seperti mencari hunian yang jauh dari keramaian atau bahkan dengan tinggal berpindah-pindah tempat. Beberapa jalan yang ditempuh di antaranya dengan mengontrak rumah bagi yang sudah menikah dan berkeluarga, ataupun berpindah-pindah tempat kos bagi yang masih lajang. Tidak sedikit juga yang memilih tinggal di atas perahu tempat mereka bekerja. Hal ini kian mempersulit pendataan, apalagi untuk mengetahui jumlah pasti warga Filipina yang berstatus Undocumented.

ZEFANYA

STM menggendong anak perempuan dari perkawinannya dengan SBY. Ia tidak memiliki kejelasan status dan dokumen kewarganegaraan mana pun. Sejak 2017, ia masih menunggu proses naturalisasi sebagai WNI. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

ZEFANYA

Keterbatasan pendidikan, kurangnya pemahaman atas hukum dan desakan ekonomi memaksa warga undocumented untuk 'meminjam identitas' dengan mengeluarkan sejumlah uang demi mendapatkan identitas palsu sebagai salah satu syarat agar bisa tetap melaut. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

Bila ditelusuri lebih jauh lagi dari aspek historis, interaksi orang-orang Filipina dengan masyarakat di Sulut secara umum telah ada jauh sebelum adanya batas negara Filipina-Indonesia. Kota Bitung dan Kota Davao menyandang predikat sister city.

Kekerabatan etnis, budaya, bahkan pertalian kekeluargaan terjadi karena faktor perdagangan antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Mindanao sejak abad ke-16. Jalur perdagangan laut itu secara tidak langsung juga melibatkan beberapa kerajaan di Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, serta daerah lainnya di daratan utama semenanjung utara Sulawesi.

Sejak dulu, perairan Sulawesi Utara dan perairan Mindanao Selatan adalah daerah tangkapan nelayan tradisional Filipina dan Indonesia. Setelah pemekaran wilayah pada 2002, Kepulauan Sangihe dan Talaud yang dulunya merupakan satu kabupaten, kini terpisah menjadi dua kabupaten kepulauan di Sulawesi Utara. Secara geografis, wilayah Sangir dan Talaud sangat dekat dengan Provinsi Sarangani, Kepulauan Mindanao Selatan, Filipina. Di beberapa daerah pesisir dan kota besar di Sarangani pun banyak bermukim WNI yang merupakan diaspora etnis Sangir dan Talaud. Umumnya mereka berprofesi sebagai nelayan.

Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kota Bitung pada 2015, setidaknya tercatat sekitar 1.400-an jiwa yang berstatus undocumented dan sebagian besarnya adalah etnis Filipina. Tidak sedikit pula dari mereka yang sudah berada di Bitung sejak 2-3 dekade lalu, menikah dengan warga lokal, dan berketurunan.

Untuk bisa bekerja di laut, setiap ABK wajib memiliki kartu identitas maupun dokumen pelengkap lainnya. Bagi mereka yang tidak memiliki KTP, “meminjam identitas” menjadi solusi. Beberapa dari nelayan itu mengaku mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan KTP dari calo. Sebagian dari mereka sadar cara itu ilegal, tapi lebih banyak yang tidak tahu dan menjadi korban pembodohan. Rendahnya tingkat pendidikan, atau sikap tidak acuh terhadap urusan administrasi, dan ketiadaan pendampingan hukum membuat posisi mereka lemah dan rawan.

Di dunia Internasional, bekerja di sektor perikanan terutama bagi nelayan, dibutuhkan kualifikasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat. Kenyataan di lapangan berbeda, kebanyakan nelayan justru mendapatkan keterampilan melaut secara turun-temurun. Mayoritas berpendidikan seadanya, cukup untuk baca, tulis, dan berhitung. Mengantongi ijazah setara SMA adalah sebuah kemewahan.

Bila tidak turun melaut, para lelaki menghabiskan waktu dengan membuat dan memperbaiki kapal ikan—sebuah keterampilan yang konon juga diwariskan turun-temurun, bahkan salah seorang nelayan lokal mengatakan bahwa desain kapal ikan yang ada di provinsi itu dahulu tidak seperti yang ada sekarang ini. Desain kapal yang lazim digunakan saat ini justru meniru desain perahu dan kapal ikan dari Filipina.

ZEFANYA

Sebagian besar warga berstatus undocumented bekerja sebagai nelayan. Jika tidak melaut, mereka bekerja sebagai pembuat kapal ataupun mekanik kapal. Desain kapal perikanan di Sulawesi Utara karena dianggap lebih efektif dan efisien untuk menangkap ikan di lautan lepas karena keahlian si pembuatnya. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

Kesamaan bentuk kapal sejak puluhan tahun belakangan ini serta perubahan metode dan cara menangkap hasil laut, terutama tuna bisa dimaknai sebagai bentuk meleburnya pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dari Filipina dan diserap oleh nelayan lokal. Sebuah kapal kuning berkapasitas 6GT, diperbaiki dan diawaki oleh nelayan Filipina yang sudah lama bermukim di Bitung. Sebagian sudah dinaturalisasi, sebagian lagi masih menunggu proses naturalisasi dari Kemenkumham untuk memperoleh KTP Indonesia.

Kemahiran orang Filipina melaut sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat yang bekerja di sektor perikanan Sulawesi Utara. Keinginan dan tekad bekerja yang kuat, ketahanan fisik yang bagus serta penguasaan medan di lautan untuk mengetahui pergerakan arus, serta memprediksi tempat gerombolan tuna berkeliaran adalah karakteristik yang melekat dengan sosok para pelaut Filipina itu. Beberapa nelayan Filipina yang pernah ditahan aparat keamanan saat melaut pun bercerita, selama mereka ditahan beberapa kali mereka diminta mengajari nelayan lokal cara membuat jaring, menjaga ketersediaan umpan, dan perkara teknis yang berkaitan dengan keterampilan melaut.

Atas dasar kemanusiaan sebagian orang-orang Filipina ini sudah dinaturalisasi, masyarakat pun tidak mempermasalahkan karena kenyataannya mereka sudah hidup berdampingan sejak lama. Salah satu hal positif yang didapatkan dari proses naturalisasi adalah untuk mengisi posisi ABK perikanan dari pabrik-pabrik yang ada di Bitung.

Hal ini juga memperkecil peluang terjadinya perbudakan di atas kapal perikanan. Dengan bekerja secara resmi, secara tidak langsung negara mendapat pemasukan dari pajak dan terbangun rasa aman dan nyaman bagi mereka untuk bekerja.

ZEFANYA

ARF, anak STM dari pernikahan sebelumnya dengan seorang WNI di Malaysia. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

ZEFANYA

Rumah semi permanen milik SBY dan STM. Tidak jarang mereka mendapat tekanan dari pihak yang mengklaim daerah pesisir pantai sebagai tanah milik salah seorang pejabat. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

ZEFANYA

Beberapa warga undocumented berpindah agama menyesuaikan pada pilihannya masing-masing. Selain karena kesadaran sendiri, alasan mereka pindah keyakinan adalah karena pernikahan dan pergaulan di lingkungan sekitar. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

Pernikahan serta institusi keagamaan berperan penting dalam integrasi sosial mereka ke masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak akan tampak perlakuan berbeda. Namun, bila berkaitan dengan hak-hak sipil, mereka tidak memiliki kejelasan status dan masa depan. Selama masa pandemi Covid-19, mereka tidak merasakan dampak secara langsung, barangkali karena tidak ada dari mereka yang meninggal lantaran terpapar Covid-19.

Dampak yang mereka hadapi umumnya terkait persoalan ekonomi, seperti kenaikan harga barang yang sangat menghimpit kebutuhan mereka. Sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan sosial yang ramai dibagi-bagikan semasa pandemi. Di sektor pelayanan kesehatan, kebanyakan warga undocumented tersebut tidak berani berobat ke rumah sakit karena tidak memiliki KTP dan harus membayar lebih mahal karena tidak terdaftar dalam sistem jaring pengaman sosial kesehatan.

Sementara itu, untuk proses vaksinasi COVID-19, peran kepala-kepala kampung dan ketua rukun sangat besar dalam melobi dan memfasilitasi agar warga Undocumented tersebut mendapat vaksinasi. Adapun beberapa orang yang masih melaut belum memperoleh vaksin karena masih berada di lautan lepas. Secara umum, masyarakat menerima kehadiran mereka. Banyak dari mereka yang secara sukarela memilih untuk terlibat secara langsung di kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong-royong maupun kegiatan keagamaan.

Tidak sedikit dari mereka yang sudah tinggal berpuluh tahun dan berketurunan tetapi belum terdata di catatan sipil. Tidak sedikit pula yang telah terdata dan mengajukan berkas ke Kemenkumham untuk mendapat kewarganegaraan sejak bertahun-tahun sebelumnya tetapi masih belum membuahkan hasil.

ZEFANYA

Anak-anak mengakses internet menggunakan telepon genggam di pesisir pantai Bitung, Sulawesi Utara. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

Alasan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih layak menjadi alasan yang paling banyak dikatakan oleh orang-orang Filipina dengan status undocumented ini. Pulang kembali ke tanah kelahiran tidak tampak menjanjikan. Kendati mereka dihantui bayangan deportasi bila tertangkap, mereka cenderung memilih untuk tidak menampakkan diri secara menonjol.

Menanggung hidup dengan rasa tidak aman dan nyaman saat bekerja, serta rawan menjadi korban penipuan atau pungli, dan tidak memiliki jaminan di masa depan, sebagian besar dari mereka pasrah menerima keadaan. “Biar jo torang begini, asal baku bae-bae jo dengan warga. Torang cuma mo cari hidup tenang/Biar saja kami seperti ini, asal rukun dengan warga. Kami ini cuma mau hidup dengan tenang,” ujar salah seorang dari mereka.

Sepenggal bait lagu disenandungkan beberapa nelayan, lagu para perantau Sangir di Filipina yang telah mereka dengar sejak kecil dinyanyikan oleh orang tua mereka:

Di pantai énemawira, di pantai énemawira/ku duduk dengan murung, mengenang si saudara/Seperti burung terkurung/kalau ke utara, ke utara di peperangan/Ke selatan, ke selatan di larangan/Hati mana, hati mana boleh tahan/sindiran kiri kanan

ZEFANYA

Terlepas dari apa pun status kewarganegaraannya, puluhan pabrik yang bergerak di sektor perikanan bergantung pada suplai ikan dari nelayan-nelayan di sekitar Bitung. Adwit B. Pramono untuk Kurawal.

Adwit B. Pramono

Foto jurnalis yang mengenal dan belajar fotografi secara otodidak. Semasa kuliah di jurusan Arsitektur, ia bergabung di UKM Fotografi Universitas Hasanuddin. Pada 2010 ia mulai bekerja sebagai foto jurnalis di Koran SINDO di Makassar. Ia pernah menjadi pengampu kelas dasar fotografi dan foto jurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Makassar pada 2013. Saat ini, selain bekerja untuk Kantor Berita ANTARA di Sulawesi Utara, ia juga terlibat aktif dalam organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar.