Gelap Gulita Pendidikan Kita
Fotografi dan Teks oleh Riska Munawarrah
Potret kegiatan belajar selama pandemi yang dialami Raiz dan Nisfatunnisa menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat berpangku tangan menghadapi ekses pandemi di sektor pendidikan. Prioritas di ranah pendidikan akan sangat penting untuk menghindari bencana antargenerasi dan, terutama, demi mendorong pemulihan yang berkelanjutan.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Di bawah tenda darurat yang gelap, anak-anak mengerjakan soal ujian. Sesekali guru mereka membacakan isi soal ujian. Hingga salah seorang murid berujar kepada sang guru, “Ada yang belum bisa membaca, Bu.”
Perhatian seisi kelas tertuju pada seorang siswa yang duduk di bangku deretan belakang. Raiz Alfarisi, murid berusia 10 tahun yang mengundang perhatian teman-temannya, tidak menghiraukan ujaran itu. Ia terus duduk menunduk sembari menunggu bel istirahat sekolah. Saat bel istirahat berbunyi, ia bergegas lari keluar kelas untuk bermain seorang diri. Saya menghampirinya, untuk menguji kepekaan membaca anak itu. Benar saja, ia bahkan belum bisa mengenal huruf.
Sudah dua tahun sejak sekolah dilangsungkan daring. Saat itu Raiz masih duduk di bangku kelas 1 MIN 8 Peukan Bada, Aceh Besar. COVID-19 menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah. Anak-anak dihimbau untuk belajar di rumah. Namun, rumah bukan tempat yang efektif untuk Raiz belajar.
“Saya kerja, jualan kue, mana sempat ngajarin dia di rumah,” jelas Eka Sari, ibu Raiz. “Selama pandemi kemarin, para guru memberi tugas kepada anak-anak. Tugasnya terlalu banyak, sementara dia saja belum kenal huruf. Saya dituntut untuk mengawalnya belajar pelan-pelan di rumah, sementara saya harus membuat kue untuk jualan.”
Peralatan belajar milik Nisfatun Nisa di kamarnya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Raiz Alfarisi (10) belajar di rumahnya. Raiz mengaku kesulitan mengeja buku bacaan tematik yang diberikan sekolah. Ia adalah salah satu siswa MIN 8 Aceh Besar yang belum mengenal huruf sebagai dampak dari pembatasan tatap muka. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Siswa/i bermain pada jam istirahat. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Penelitian terbaru mengungkap dampak buruk penutupan sekolah terhadap pembelajaran dan kesejahteraan anak-anak dan bagaimana hal ini dapat berlangsung sepanjang hidup mereka. Namun, pengalaman pribadi anak-anak selama pandemi tetap tak tersentuh.
Nisfatunnisa mengalami apa yang juga Raiz alami, ia belum kunjung lancar membaca. “Kata guru saya, saya peringkat akhir di kelas,” kata bocah kelas 3 MIN itu. Sementara, Nisfatun kehilangan ibunya akibat bencana kebakaran ketika ia masih kecil. Saat ini ia tinggal bersama ayah dan keluarga bibinya. Dia kerap membantu bibinya mengurus rumah. Sulit baginya untuk menemukan sosok yang mendampinginya belajar di rumah.
“Karena enggak sekolah, belajar kadang-kadang saja. Saya masih kelas 1 saat itu, kami disuruh guru untuk belajar di rumah, tapi saya dan kakak saya banyak menghabiskan waktu untuk membantu bibi dan berjualan jajanan kios depan rumah,” ceritanya.
Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama hampir dua tahun berdampak tidak hanya pada sistem kesehatan, tetapi juga pada sektor sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Anak-anak kehilangan keterampilan berhitung dan literasi dasar. Secara global, gangguan pendidikan berarti jutaan anak sangat kehilangan pembelajaran akademis yang layak mereka dapatkan di kelas, dengan anak-anak yang lebih muda dan lebih terpinggirkan menghadapi kerugian terbesar.
Raiz Alfarisi usai bermain hujan di pemandian milik tetangganya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Nisfatun Nisa (kiri) dan Nazwa (kanan) menunggu pembeli jajanan minuman. Sepulang sekolah mereka berdua berjualan minuman untuk menambah bekal sehari-hari. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Raiz Alfarisi mengambil buku dari rak buku. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Pada Hari Pendidikan Internasional—tepat dua tahun pandemi COVID-19—UNICEF membagikan data terbaru tentang dampak pandemi pada pembelajaran anak-anak. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, kehilangan pembelajaran karena penutupan sekolah mencegah 70 persen anak berusia 10 tahun untuk dapat membaca atau memahami teks sederhana, angka ini naik dari 53 persen sebelum pandemi. Di tengah pandemi ini, lembaga pendidikan di Indonesia juga kehilangan 77 minggu waktu tatap muka dengan anak-anak. Singkatnya, 147 juta anak melewatkan lebih dari setengah pendidikan tatap muka dalam 2 tahun terakhir. Ini berarti 2 triliun jam pembelajaran tatap muka hilang secara global.
"Ketika anak-anak tidak dapat berinteraksi langsung dengan guru dan teman sebaya, pembelajaran mereka terganggu. Ketika mereka benar-benar tidak dapat berinteraksi dengan guru dan teman sebaya, kehilangan belajar mereka dapat menjadi permanen," jelas eksekutif UNICEF Direktur Catherine Russell dengan ekspresi khawatir.
Penutupan sekolah telah menelan 2 triliun jam pelajaran tatap muka sejak Maret 2020, dengan siswa di lebih dari empat per lima negara tertinggal dalam pembelajaran. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) menemukan terjadi penurunan 0,44 sampai 0,47 persen terhadap standar deviasi atau kemunduran dalam proses belajar pada anak. Hasil temuan menunjukkan 0,8 sampai 1,3 persen dari persentase ini terjadi pada siswa miskin.
Secara khusus, yang paling terpinggirkan adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tinggal di daerah pedesaan yang tertinggal jauh dari standar belajar perkotaan. Situasi pandemi memperburuk ketidaksetaraan dan krisis pendidikan yang sudah ada sebelumnya.
Raiz berdiri di ruang kelas yang terbakar. Sebanyak enam ruang kelas di sekolah MIN 8 Aceh Besar terbakar pada September 2021. Akibatnya, para siswa harus belajar di bawah tenda darurat dengan jam belajar di siang hari. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Nisfatun Nisa (9) berpose di depan kaca jendela rumahnya. Ia adalah salah satu siswi MIN 8 Aceh Besar yang belum bisa baca tulis. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Pihak Kemendikbudristek RI menyadari banyak persoalan yang terjadi selama penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi COVID-19. Semakin lama kebijakan itu diberlakukan, semakin berdampak negatif pula terhadap tumbuh kembang pembelajaran anak. Menteri Dikbudristek RI Nadiem Makarim menyampaikan dampak negatif itu meliputi ancaman putus sekolah, terhambatnya tumbuh kembang anak, tekanan psikososial, hingga terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak.
Banyak anak terpaksa bekerja membantu keuangan keluarga akibat terdampak pandemi. Di sisi lain, banyak orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka. Dengan keadaan ini, banyak anak usia sekolah yang berpotensi terancam putus sekolah. Demikian juga proses tumbuh kembang anak menjadi terhambat.
Saat ini, kegiatan tatap muka di sekolah sudah diterapkan kembali, terlepas dari varian Omicron yang masih mengintai. Didukung oleh protokol kesehatan serta program vaksinasi, berbagai institusi pendidikan telah mantap untuk menyelenggarakan kembali kegiatan tatap muka. Namun, ekses selama dua tahun pandemi yang telah mengakibatkan kemunduran dalam proses belajar anak, menipisnya akses kesehatan dan kesejahteraan, dan anak-anak yang putus sekolah tentu akan membutuhkan pemulihan yang cukup panjang.
Memprioritaskan pendidikan sebagai upaya bersama dengan dukungan publik tentu akan sangat penting untuk menghindari bencana antargenerasi dan, terutama, demi mendorong pemulihan yang berkelanjutan. Agar lebih tangguh, adil dan inklusif, sistem pendidikan harus berubah, memanfaatkan teknologi untuk kepentingan semua peserta didik, dan membangun inovasi dan memastikan berlangsungnya kemitraan berbagai pihak untuk mendukung sektor pendidikan pasca-pandemi.
Nisfatun Nisa (9) berdiri di depan ruang kelas tenda darurat kelas 3 MIN 8 Peukan Bada. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Fotografer dokumenter yang tinggal di Aceh. Pada 2019 ia terpilih sebagai salah satu penerima Permata Photojournalist Grant 2019. Foto cerita yang ia kerjakan selama program tersebut mendapatkan penghargaan sebagai Karya Terbaik PPG 2019. Beberapa karyanya telah dipamerkan di Insumatra Photo Festival (2019) dan Solo Photo Festival (2020).