Tetap Ada, Walau Remuk Berkali-kali
Fotografi dan Teks oleh Ivan Dwi Kurnia Putra
Sebagai salah satu kota besar yang kian bertumbuh seiring waktu, ingar-bingar perkotaan Surabaya tidak luput dari bercampurnya berbagai elemen masyarakat yang kian beragam. Di tengah geliat kota itu, hidup pula sekian kelompok yang terpinggirkan, salah satunya para waria di bawah payung kolektif Perwakos—sebuah kolektif transpuan yang berjuang untuk melawan stigma terhadap kalangan transpuan.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
“Om, mau ke mana, Om? Kalian, tuh, banci. Banci enggak boleh masuk!” gertak seorang penjaga keamanan salah satu diskotek hotel di Jakarta kepada Mami Sonya dan kawan-kawannya. Perdebatan sengit sempat terjadi. Tensi perbincangan memanas. Namun, Sonya dan kawan-kawannya memilih menarik diri.
“Waktu itu respons saya cuman mematung, bahasa Jawa-nya: ketenggengen (freezing). Bahkan di tempat hiburan seperti itu, kami tidak diterima. Tapi tak ada pilihan lain. Kami memilih mengalah.”
Sonya mengenang peristiwa itu sebagai momen traumatis, sekaligus membulatkan tekadnya untuk menciptakan ruang aman bagi transpuan lainnya. Ia menceritakan kejadian itu dengan nada haru kepada saya di beranda rumah singgah Perwakos yang baru saja berdiri pada awal tahun lalu.
Sebagai transpuan, Sonya akrab dengan diskriminasi. Pengalaman perempuan yang saat ini menjabat sebagai ketua Perwakos tersebut adalah segelintir dari kisah-kisah ketidakadilan lain yang juga kerap menyasar para transpuan lain.
Para transpuan, mayoritas bernaung di bawah satu payung bernama Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos). Perwakos adalah organisasi transpuan tertua di Indonesia. Didirikan pada November 1978 oleh Pangky Kenthut, dan masih eksis hingga hari ini.
Mami Sonya (kiri) dan Yanti (kanan) bersantai di ruang tamu kos miliknya. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Potret Mami Sonya, seorang transpuan yang mengurusi rumah singgah Perwakos dan masalah-masalah menyangkut hak-hak transpuan lainnya. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Rinda (kiri) merias salah satu pelanggannya yang juga transpuan. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Pada awal 2022, kolektif Perwakos mendirikan sebuah rumah singgah (shelter) bagi kawan-kawan transpuan di Surabaya. Setelah hidup nomaden selama bertahun-tahun, kini para transpuan menghuni ruang aman yang mereka bangun dengan jerih-payah kolektif. Patungan demi patungan dikumpulkan untuk menyewa sebuah rumah yang tidak begitu besar di gang sempit area padat penduduk di pusat kota Surabaya.
Shelter ini berawal dari keprihatinan atas nasib waria di Surabaya. Selama 44 tahun kolektif ini berdiri, masih banyak cerita getir yang dibagikan kawan-kawan transpuan di shelter itu. Banyak di antara mereka yang belum kunjung mendapatkan hak paling mendasar sebagai warga negara. Untuk memperoleh kartu identitas saja mereka kerap dipersulit oleh aparat, apalagi menagih hak mereka sebagai warga negara seperti vaksin COVID-19.
Pemberian vaksin di Surabaya sempat diperuntukan hanya bagi warga ber-KTP Surabaya. Saat itu, kawan-kawan transpuan di Surabaya tentu dihadapkan pada keadaan mereka yang tidak memegang kartu identitas. Banyak dari mereka yang merantau atau kabur dari rumah akibat status gender dan itu telah menjadi pilihan hidup yang mereka ambil selama bertahun-tahun.
Dengan ketiadaan kartu identitas, selain sulit memperoleh jatah vaksin, penghuni shelter juga tidak mendapat jatah pembagian bantuan langsung tunai (BLT).
Doa bersama di tengah pembagian sembako yang dipimpin Bunda Handayani di rumahnya. Rumah Bunda Handayani ini juga difungsikan sebagai gereja bagi transpuan. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Har, lansia berusia 75 tahun, yang hidup sendiri di tengah kota—adalah salah seorang transpuan yang mengalami diskriminasi. Ia adalah perantau asal Lampung, yang kali pertama menginjakkan kaki di Surabaya pada saat berusia 16 tahun, dengan tanpa membawa kartu identitas apa pun.
Bahkan hingga 59 tahun kemudian, ia masih tidak memegang kartu identitas apa pun. “Tiap kali ada pembagian bantuan dari negara, saya selalu terlewat, karena saya tidak punya KTP. Setiap kali saya mau mengurus, selalu ada saja dokumen yang dirasa kurang lengkap,” jelasnya mengenai situasinya.
Ia mengaku kesulitannya untuk memperoleh kartu identitas dikarenakan stigma buruk yang melabelinya sebagai transpuan. Khatam dengan stigma yang memandangnya tidak pantas untuk ada di tatanan masyarakat, Har harus menelan label yang menyatakan kelompok transpuan seumpama penyakit masyarakat.
Padahal, sudah terang bahwa sejak 2012 World Health Organization (WHO) telah menghapus LGBTQ dari kategori penyakit mental. Mereka dijamin untuk mengakses hak hukum, pendidikan, dan juga agama yang setara di tengah masyarakat.
Sonya adalah salah satu anggota lama Perwakos yang hingga kini masih terus mengupayakan jaminan akses yang setara tersebut. Ia telah bergabung sejak 1983. Sonya diberi mandat sebagai ketua sejak 2012 silam. Sebagai ketua Perwakos, Sonya fokus terhadap dampingan hukum sekaligus perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) para transpuan lainnya. Sebagai anggota tertua, Sonya adalah saksi hidup pergulatan Perwakos. Rentetan diskriminasi dan represi telah kenyang ia rasakan.
Keberhasilan menginisiasi shelter membuat ia merasa sedikit lega. Sebab, ia tak lagi khawatir akan nasib-nasib kawan sepenanggungan tatkala usianya menapaki hari tua. “Kami tidak lagi perlu was-was dan bingung tempat ketika ada anggota transpuan dibuang keluarga, tidak diterima ketika kembali di rumah, ataupun yang membutuhkan bantuan perawatan kesehatan. Semuanya bisa ditampung di sini, dan diurus bareng-bareng,” kata Sonya.
Bantuan sembako tersusun rapi di lorong rumah Bunda Handayani. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Yanti (kiri) menunjukkan isi sembako kepada Mami Sonya saat acara selesai. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Selain Sonya, Irma adalah anggota lain yang terhitung lawas. Ia bergabung pada awal 2000-an silam. Usia Irma kini 56 tahun, memasuki usia paruh baya, ia juga mengaku tak lagi was-was akan hari tuannya. Sebab, ia telah menjadi bagian dari “rumah Perwakos” sejak lebih dari dua dekade.
“Saya merasa bahwa hadirnya shelter ini juga membuat hati saya merasa tenteram. Karena akhirnya teman-teman ada tempat untuk berkumpul, berbagi keluh kesah, dan juga beristirahat,” tutur Irma.
Didirikan secara kolektif, Perwakos juga dikelola bersama-sama. Para anggota Perwakos bergantian jadwal piket untuk membersihkan rumah dan juga menggelar tes Voluntary Counseling and Testing (VCT) untuk menekan angka kasus HIV/AIDS yang rentan menjangkit anggota transpuan–yang sebagian bekerja sebagai pekerja seks.
“Salah satu yang menjadi teror yang tidak tampak bagi para transpuan adalah infeksi HIV/AIDS. Sering banget kita harus merelakan kepergian teman kita dengan penyakit serupa. Enggak pernah tahu diagnosisnya, tiba-tiba ambruk, dan enggak jarang sampai meninggal,” terang Sonya.
Mayoritas para transpuan terpaksa menjadi pekerja seks–sebab, bagi transpuan, mengakses pekerjaan formal nyaris menjadi sebuah keniscayaan. Jalan pintas yang terbuka lebar di hadapan transpuan untuk menyambung hidup adalah menjadi pekerja seks. Karena itulah, harapan seluruh anggota Perwakos, shelter kelak tak hanya bisa mengakomodir kebutuhan tempat tinggal saja, tetapi juga menjadi ruang produksi aneka kerajinan yang memiliki nilai ekonomis, agar para transpuan tak perlu lagi perlu turun ke jalan untuk menjajakan tubuh mereka.
Mami Sonya (kiri) dan Bu Har (kanan) berpelukan di tengah perbincangan mereka tentang hak-hak manusia dan warga negara. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
“Minimnya lapangan pekerjaan bagi orang-orang seperti kita adalah salah satu masalah terbesar. Kalaupun ada, mereka menerapkan perlakuan diskriminatif: kita diminta untuk tampil menjadi laki-laki. Bagaimana perasaanmu untuk tampil sehari-hari dengan berpura-pura menjadi orang lain?” kenang Irma dengan nada haru.
“Tiap kali muncul diskriminasi terhadap saya, hati saya nelangsa. Meskipun berkali-kali merasakannya, hati saya tetap belum kebal,” kata Sonya.
Tatkala pandemi merebak, kehidupan transpuan kian remuk. Mereka banyak dipecat dari tempat kerja, salon sepi pengunjung, dan sekali lagi, mereka terpaksa turun ke jalan. Namun, ancaman operasi “jam malam” yang sempat digalakkan oleh pemerintah kota Surabaya membuat mereka kucing-kucingan tiap hari menghindari grebekan petugas.
Alih-alih hadir menjadi juru selamat dan menyediakan keamanan bagi masyarakatnya, negara justru hanya hadir menjadi tukang gebug tanpa menawarkan bantuan apa-apa. Hak-hak masyarakat mampat dalam sebuah selembar kartu identitas bernama KTP yang tak semua transpuan miliki. Foto-foto ini merekam hiruk-pikuk kehidupan transpuan semasa pandemi, dan kehidupan kawan-kawan transpuan di sebuah rumah singgah yang menjadi satu-satunya ruang aman bagi mereka.
Yanti berjalan di lorong rumah kos miliknya untuk menuju lokasinya bekerja. Ivan Dwi Kurnia Putra untuk Kurawal.
Foto jurnalis asal Surabaya. Pada 2016, ia memulai karier secara profesional untuk salah satu rubrik anak muda di harian Jawa Pos. Ia menjadi salah satu fotografer untuk DBL Indonesia, liga basket pelajar terbesar di Indonesia, pada 2019. Beberapa karyanya telah diterbitkan oleh Vice, Asian Democratic, New Naratif, The Jakarta Post dan Jawa Pos.