Kuldesak
Fotografi dan Teks oleh Yusuf Wahil
Selepas kepergian ibunya di usia 52 tahun—Nurlina—akibat COVID-19 pada Agustus 2020, Muh Ikhsan (27) kini harus berjuang keras menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi tiga orang adiknya, Muh Irvan (22), Nur Avni (20), dan Agus Salim (18) di rumah peninggalan orang tuanya. Ayah Ikhsan—Sudarman—telah lebih dulu berpulang pada 2018 di usia 60 tahun.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Menjadi tulang punggung keluarga bukan hal yang mudah bagi Muh Ikhsan. Kendati pandemi dinyatakan sudah mereda, saat ini ia masih merasakan efeknya. Gaji pensiunan almarhum bapaknya tidak cukup untuk membiayai pendidikan Agus Salim yang masih duduk di bangku SMA, sementara Nur Avni masih kuliah—dan fakta ini mendesaknya untuk memutar otak dan membanting tulang demi kelangsungan hidup keluarga.
Ikhsan harus bekerja keras demi bertahan hidup bersama ketiga adiknya, yang tinggal di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Belum lama ini, Ikhsan berhenti dari tempat kerjanya sebagai kurir dan mencari kerja yang lebih baik lagi. Sebelumnya, ia bekerja sebagai staf di salah satu koperasi bersama adiknya Muh Irvan. Namun, pengurangan karyawan di koperasi itu lantaran pagebluk menimpa sang adik dan beberapa temannya.
Hingga saat ini Irvan masih belum mendapat pekerjaan pengganti. Mereka berdua sama-sama belum memiliki pekerjaan dan masih terus berupaya memasukkan lamaran kerja. Sang adik melamar pekerjaan di salah satu toko penjualan telepon seluler di kawasan pertokoan Wonomulyo, sedangkan Ikhsan mencoba peruntungan dengan mendaftar ke tiga perusahaan di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Muh Ikhsan (kiri) mendampingi adiknya Muh Irvan (kanan) saat membuat surat lamaran kerja. Muh Irvan adalah salah satu karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja di tempat kerjanya karena pandemi. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Nur Afni (20) sedang mengikuti perkuliahan secara daring di ruang tengah rumahnya. Selain memanfaatkan paket data seluler pribadi, kadang ia juga diberi akses jaringan internet oleh tetangga. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Menu makan siang di atas meja yang dimasak oleh Muh Ikhsan di kediaman mereka. Tak jarang Muh Ikshan dan adik-adiknya hanya makan nasi tempe saja. Mereka biasanya mendapatkan bahan makanan dari keluarga dan tetangga. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Sembari menunggu panggilan kerja, untuk bertahan hidup, Ikhsan sementara waktu memanfaatkan sebagian beasiswa Nur Avni yang kini kuliah di Universitas Sulawesi Barat. Menurut Ikhsan, beruntungnya, sang adik merupakan salah satu mahasiswa yang berprestasi dan bisa bersaing di urusan akademik. Ia meraih prestasi sejak kecil dan hal itu dibuktikan dengan menggondol pulang beberapa piala perlombaan.
“Untuk biaya keperluan di rumah, biasanya saya meminjam uang adik saya Nur Avni, kebetulan dia dapat beasiswa di kampusnya,” ujar Ikhsan.
Salah satu peninggalan orang tuanya—sebuah bangunan yang sebelumnya jadi tempat ibunya menjual kelontong dan es batu di Pasar Wonomulyo—telah dijual setelah ibunya belum lama meninggal. Ikhsan mengaku terpaksa melakukannya demi melunasi utang sang ibu dan sebagian lagi digunakannya untuk kebutuhan hidup bersama adik-adiknya, termasuk untuk biaya pendidikan Agus Salim.
Saat pagebluk melanda Indonesia, pemerintah meluncurkan berbagai jenis bantuan kepada warga, seperti bantuan langsung tunai (BLT). Namun keluarga Ikhsan hanya mendapatkan satu kali BLT sebanyak Rp800 ribu pada 2021, yang ditujukan kepada Agus Salim yang masih duduk di bangku sekolah. BLT itu pun diterima secara bertahap.
Saya berbincang dengan Nur Avni di ruang tengah rumahnya. Ia menceritakan, sejak kuliah hingga saat ini di semester empat perkuliahan ia masih mengikuti proses kuliah yang dilakukan secara daring. “Dulunya setiap mahasiswa mendapat bantuan paket data internet yang digunakan untuk kuliah, sekarang sudah tidak ada lagi sejak 2022,” cerita Avni. Namun, dia sedikit terbantu oleh tetangganya, yang berlangganan internet kabel. Nur Avni boleh mengakses wifi dari tetangganya itu secara gratis.
Muh Ikhsan (29) berjalan menuju masjid untuk menunaikan ibadah salat magrib. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Lemari es peninggalan Nurlina yang sudah tidak terpakai lagi di dapur rumah Ikhsan. Semasa hidupnya ibu Muh Ikhsan itu menjual es di kawasan pasar Wonomulyo. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Muh Irvan (22) beristirahat di kamarnya. Irvan juga merupakan penyintas COVID-19 dan menjalani karantina selama satu bulan di RS Pratama Wonomulyo setelah ibunya wafat akibat terpapar virus tersebut pada 2020. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Sepeninggal orang tuanya, selain uluran tangan tetangga yang kadang memberikan bantuan, Ikhsan dan adik-adiknya juga kadang mendapat bantuan dari paman. “Kadang tetangga yang berikan bantuan makanan, kalau adik saya Irvan dan Salim biasanya dipanggil paman bantu-bantu di rumahnya lalu dikasih uang. Kalau Oom kami ke luar kota, Irvan dan Salim biasanya yang jaga rumahnya lalu dikasih uang,” cerita Iccang, panggilan akrab Ikhsan.
Selain ibunya, Irvan dan Ikhsan juga penyintas COVID-19. Hampir setahun setelah ibunya meninggal dunia, ia juga terpapar SARS-CoV-2 tepat sehari setelah lebaran Idul Adha di tahun 2021. Saat menceritakan perjuangannya melawan virus yang menggerogoti tubuhnya itu, wajahnya tidak hanya memancarkan kesedihan, tak jarang air matanya menetes. Saat itu, sebulan lamanya dia harus mengisolasi diri di dalam kamar. “Saya isolasi diri di kamar, tetangga pun tidak ada yang tahu,” kenang Ikhsan.
Awalnya Ikhsan beranggapan dirinya hanya batuk biasa. Namun setelah beberapa hari tak kunjung reda, bahkan disertai demam, dia memeriksakan kesehatannya ke dokter praktik, selain diberikan obat, ia pun disarankan oleh dokter untuk segera ke rumah sakit. “Saya disarankan segera ke rumah sakit, karena gejala dan ciri-ciri corona sudah ada. Belum lama saya di rumah, malamnya saya mulai sesak berat persis sama waktu ibu saya kena corona,” ujarnya.
Ia pun segera memberitahukan kondisinya kepada pamannya dan meminta petunjuk. Atas petunjuk pamannya, Ikhsan memilih untuk tidak ke rumah sakit. Ia tak kuasa menahan kesedihan, sambil mengusap air matanya, Ikhsan menceritakan kondisi yang dialami ibunya sebelum meninggal. “Selama diisolasi Ibu bisa menelepon dan terdengar sangat kesakitan kalau sesak dan batuk, kadang dia minta untuk dikasih minum air hangat, dia juga menceritakan kalau jarang diperhatikan oleh perawat,” ungkap Ikhsan.
Nur Afni dan Muh Ikhsan membersihkan makam Nurlina di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Sidorejo. Nurlina meninggal saat menjalani perawatan di ruang isolasi pasien COVID-19 di RSUD Polewali Mandar (saat ini dikenal sebagai RSUD HJ Andi Depu). Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Tidak sampai satu minggu setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Polman, ibunya wafat. “Saat Ibu meninggal, saya ditelepon oleh pihak rumah sakit, lalu saya bersama saudara saya ke rumah sakit. Tapi di rumah sakit saya hanya bisa menyaksikan Ibu dari rekaman CCTV rumah sakit,” kenangnya.
Saat ini, tidak tercatat adanya penambahan kasus COVID-19 di Sulawesi Barat. Sejak awal pandemi pada Maret 2020 hingga 21 Mei 2022, data resmi yang dikeluarkan oleh Satgas Covid-19 Sulbar mencatat total sebanyak 15.552 dinyatakan positif, 15152 orang sembuh, dan 392 orang meninggal dunia dari enam kabupaten di Mamasa, Polewali Mandar, Majene, Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu.
Kabupaten Polman, tempat tinggal Ikhsan dan keluarganya, menempati urutan pertama kasus tertinggi positif COVID-19, yaitu sebanyak 4.304 orang positif, 4.145 sembuh, dan 159 orang meninggal dunia. Satu di antara angka statistik itu adalah Nurlina, ibunya.
Dari kiri: Muh Irvan (22), Muh Ikhsan (29), Nur Afni (20) dan Agus Salim (18). Keempat bersaudara ini berjuang mandiri setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Yusuf Wahil untuk Kurawal.
Fotografer dokumenter kelahiran Mamuju Tengah yang kini menetap di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia tertarik pada isu sosial, budaya, dan lingkungan. Karyanya telah diterbitkan oleh National Geographic Indonesia dan DestinAsian Indonesia.