Kukus Harapan

Fotografi dan Teks oleh Aziziah Diah Aprilya

Pandemi mulai bergerak menjadi endemi. Konon, kehidupan menjelang normal. Namun, bagi beberapa orang, kenormalan itu masih asing. Situasi ekonomi belum kembali seperti dulu. Usaha memburuk, utang bertumpuk, dan harga bahan pokok melonjak. Lalu, apa yang kembali normal?

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Suparti (60) atau akrab disapa Emba’ adalah seorang perantau asal Solo. Ia pindah ke Makassar sejak umur 33 tahun dan bermukim di Maccini Kidul, permukiman padat di tengah Kota Makassar. Dahulu sebelum ke Makassar, perempuan itu sempat bermigrasi dari Solo ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun setelah bercerai dengan suami pertamanya di sana, ia bertemu dengan lelaki Makassar dan memilih pindah ke kota pelabuhan ini.

Setiap harinya Emba’ berjualan soto ayam di depan lorong Maccini, sedari pukul 9 pagi sampai 2 siang. Saat pandemi, ia menambah dagangannya dengan tela-tela, tempe, dan pisang goreng. Meski menambah komoditas dagang, penghasilannya masih jauh dari yang biasa didapatkan sebelum pandemi. Sebelum COVID-19 datang, Emba’ bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp100.000 dalam sehari, kini ia hanya bisa meraih sekitar Rp30.000 saja. Bahkan saat awal bulan puasa di tahun 2022 ini, Emba’ mengaku merugi hingga Rp400.000 karena dagangannya tidak laku. Padahal, ia perlu membayar cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR), pinjaman bank yang baru diambilnya di saat pandemi.

“Ndak ada dulu utangku, karena dulu itu biasa sotoji kujual, bisa banyak sekali pembeli. Sekarang biar kutambahi tela-tela sama tempe, tetapi juga sedikit kudapat,'' ujar Emba’.

Dia juga heran dengan bantuan pemerintah yang tidak menyentuhnya. Emba’ mengaku namanya belum pernah tercatat sebagai penerima bantuan. Padahal, tetangga-tetangganya sudah banyak yang tercatat. Bahkan, ia dengar ada juga seorang PNS, tetangga di dekat rumahnya, yang mendapatkan bantuan tersebut.

Emba’ di kamar tidur

Emba’ baru mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) saat pandemi datang karena hasil penjualannya menurun drastis sedangkan ia menanggung segala tagihan di rumahnya. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Obat

Obat yang dikonsumsi Emba’ ketika rematiknya mulai kambuh. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Sisir

Emba’ selalu menyisir rambut sebelum pergi berjualan di depan lorong rumahnya. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Begitu pula yang dialami oleh Nurliyah (57) atau Daeng Bongko’, seorang penjual kue yang tinggal tidak jauh dari rumah Emba’. Penghasilan jualannya juga menurun karena harga bahan kue naik. Sedangkan saat pandemi, ia juga tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Di saat keuangannya semakin menipis, ia menjual motor anaknya dan memperbaharui pinjamannya di bank lain.

“Itu juga pinjaman di bank saya bagi empat sama anak-anakku lagi biar mereka juga bisa usaha kecil-kecilan atau perbaiki rumah,” kata Daeng Bongko’. Suaminya sendiri sudah meninggal sejak 6 tahun lalu. Kini sehari-hari setelah berjualan kue, ia mengurusi warung anaknya. Selain itu ia menjaga Azka atau Acca, cucunya yang berumur 3 tahun karena orang tuanya (anak Daeng Bongko’) pergi bekerja.

Daeng Bongko’ juga sebenarnya memiliki anak angkat yang dia “ambil” dari saudaranya yang tidak mampu untuk ia sekolahkan. Dia menyekolahkan anak itu sampai kelas 6 SD. Namun, kemudian pandemi datang, keuangannya tidak stabil, dan ia tidak bisa menyanggupi pembiayaan peralatan elektronik untuk kepentingan sekolah jarak jauh bagi anak asuhnya itu.

Setiap bulannya, Daeng Bongko’ dan Emba’ juga perlu menyetor cicilan uang pinjaman ke bank. Kadang ia dapat membayarnya tepat waktu, tapi seringkali lewat dari tenggat di akhir bulan. Biasanya jika uangnya belum tercukupi, mereka akan meminjam lagi di keluarga atau tetangga yang lain untuk menutupi cicilan bank itu. Emba’ juga beberapa kali menjadi tukang masak di suatu acara untuk mendapatkan dana tambahan. Namun, seringkali uang itu masih belum cukup karena ia harus membeli bahan makanan, juga membayar listrik dan air. Penghasilan suami Emba’—sebagai makelar perlengkapan motor di bengkel kecil—tidak mampu menutupi tagihan rumahnya.

“Kalau pikirkan itu tagihan, kambuh lagi rematikku itu. Susahka jalan. Tapi harus tetap jualan biar itu pedis sekarang pembeli,” kata Emba’ sambil memijat jari kakinya.

Kacamata

Kacamata Daeng Bongko’ yang masih ia gunakan untuk membantunya membaca. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Kartu Keluarga Emba’

Emba’ baru saja memperbarui kartu keluarganya pada 2022 ini. Ia berharap KK-nya itu bisa “aktif” dan tercatat sebagai penerima bantuan pemerintah, apa pun jenisnya. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Kotak Es Krim

Daeng Bongko’ menyimpan kartu-kartu pengobatan milik anak kandung dan angkatnya, cucunya, orang tua juga suaminya yang telah meninggal. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Menurut Emba’ maupun Daeng Bongko’, bantuan pemerintah seharusnya bisa meringankan beban ekonomi mereka yang terpuruk saat pandemi. Mereka sudah sering mengeluhkan bantuan yang tidak merata itu ke lurah Maccini dan RT setempat. Namun lurah dari wilayah mereka hanya meminta mereka untuk bersabar.

Daeng Bongko’ sudah beberapa kali mengganti kartu keluarga (KK)–yang menjadi salah satu syarat administrasi bantuan, tapi tetap saja ia tidak pernah dicatat dalam daftar penerima bantuan. Sedangkan Emba’ sendiri baru saja memperbaharui kartu keluarganya di tahun 2022 ini. Dengan pembaharuan KK yang mereka lakukan, mereka berharap KK mereka tersebut bisa “aktif” dan tercatat sebagai penerima bantuan pemerintah, apa pun jenisnya.

Saat puncak pandemi di tahun 2020, mereka menyebutkan pernah ada satu kali bantuan beras yang datang ke Maccini. Entah dari mana asalnya, bantuan itu langsung didistribusikan dari rumah ke rumah. Warga sudah sangat senang. Tapi kemudian menurut Daeng Bongko’, ada banyak ulat di dalam beras yang dia terima kala itu. Namun, dia tetap membersihkan dan memasak beras itu.

Portrait Daeng Bongko’

Daeng Bongko’ lahir di Selayar, kabupaten yang terletak di pulau bagian selatan Sulawesi. Saat kecil, ia pindah ke Maccini karena orang tuanya bekerja di Makassar. Kini setiap pagi, ia berjualan kue-kue khas Bugis-Makassar yang dititip oleh para tetangganya. Aziziah Diah Aprilya untuk Kurawal.

Saat situasi PSBB mengetat, Daeng Bongko’ kian mengalami kesulitan untuk tidur. Kadang dia bahkan punya keinginan untuk keluar rumah di tengah malam, semata-mata untuk mencari orang yang dapat ia ajak bicara.

“Kata dokter waktu itu karena maag. Jadi nakasihma obat sama nasuruhka perbaiki makanku. Tapi sekarang susahka lagi tidur,” cerita Daeng Bongko’. Ia sendiri masih menunggak iuran BPJS Kesehatan sejak 4 tahun lalu. Hal itu yang membuat dia juga hanya mengandalkan obat bebas di apotek. Ia tahu ia perlu tetap sehat untuk terus bekerja.

Dengan lapisan persoalan yang dihadapi kedua perempuan itu, pandemi seakan semakin menegaskan kerentanannya. Di tengah kesunyian negara, mereka tetap selalu bisa bersiasat agar terus bertahan hidup—bukan hanya demi dirinya saja, melainkan untuk orang yang sama pentingnya bagi mereka.

Aziziah Diah Aprilya

Fotografer lepas, penulis dan pegiat komunitas di Makassar. Ia pernah terlibat dalam program Arisan-Southeast Asia Collective Forum (2018), Goethe Institute Art Spaces and Collaborative Projects (2020), dan Photo Critique Workshop (Jakarta International Photo Festival, 2021). Pada 2021 ia ditunjuk sebagai asisten kurator Makassar Biennale dan kemudian menjadi kurator untuk Kawula Ria, Pameran Arsip ‘80an Makassar (2022).