Tertatih dalam
Himpitan Pandemi
Fotografi dan Teks oleh Iqbal Lubis
Di sebuah rumah panggung warisan orang tua, Nurfaisah (29), seorang ibu dengan lima orang anak, tertatih seorang diri. Suaminya, Ruliyanto (36), pada Desember 2020 lalu terpaksa meninggalkan Makassar dan mengadu peruntungan di Kalimantan. Keputusan yang berat, apalagi Nurfaisah mengidap penyakit batu empedu.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Sebelum pandemi mengepung, Ruliyanto mencari nafkah sebagai buruh di salah satu perusahaan minuman kemasan. Upah yang diterimanya dalam sebulan sekitar 1,6 juta rupiah. Tak cukup memenuhi keperluan sehari-hari, mereka menambah pemasukan dengan membuka warung kelontong di depan rumah.
Namun, pada April 2020, Ruliyanto dan puluhan ribu pekerja lainnya mendapat kejutan kelam: diberhentikan seketika. Pagebluk membuat sektor usaha menjadi limbung. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sulawesi Selatan, ada 12.197 tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada 2020.
Terpukul dan kelimpungan, Ruliyanto segera mengirim lamaran kerja ke puluhan perusahaan. Lama menunggu, tak ada satu pun panggilan yang datang. Modal habis, warung kelontong akhirnya tutup. Saat itu, Nurfaisah sedang hamil tiga bulan anak keempat mereka. Cobaan hidup yang tak pernah terbayangkan.
Nurfaisah menggendong kedua anak kembarnya, M. Fadlan dan M. Fadli.
Iqbal Lubis untuk Kurawal.
Di Sulawesi Selatan, 970 perusahaan terseok-seok untuk meneruskan produksinya.
M. Ridafi tengah bersantai di rumahnya. Iqbal Lubis untuk Kurawal.
Dari kiri atas searah jarum jam: Nursakina memandangi foto ayah dan adiknya dari handphone yang latarnya sudah retak. Peralatan di dapur rumah Nurfaisa yang terbengkalai. Nurfaisah bersiap-siap memandikan anaknya. Iqbal Lubis untuk Kurawal.
Dengan sisa tabungan, mereka membuka usaha penjualan minuman instan dingin di Jalan Kapasa Raya. Bila hujan mengguyur sepanjang hari, uang yang didapat hanya Rp 10 ribu. Tetapi, jika Makassar sedang terik dan gerah, pendapatannya bisa mencapai Rp 200 ribu. Dari hasil penjualan itulah mereka menyisihkan Rp 300 ribu setiap minggu untuk membeli susu bayi anak keempat mereka yang lahir pada Agustus 2020, si kembar Muhammad Fadlan dan Muhammad Fadli.
Biaya persalinan dan keperluan sehari-hari diperoleh dari
bantuan tetangga dan beberapa komunitas.
“Saya bisa memasak, membantu menyiapkan acara syukuran hingga pesta perkawinan. Dari situ saya bisa dapat uang Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu,” kata Nurfaisah.
Pengeluaran selama pandemi menjadi berlipat-lipat. Sementara tiga anak mereka, Sitti Nursakina (11), Muhammad Ridafi (9), dan Asifa (7), wajib mengikuti pendidikan daring. Keluarga ini hanya memiliki satu smartphone saja, itu pun dengan kuota terbatas. Ridafi terpaksa ujian ulang karena beberapa ujian online tak bisa diikuti.
Dari kiri atas searah jarum jam: Nurfaisah melakukan panggilan video dengan suaminya sembari membersihkan rumah. Setiap pagi Nurfaisah membuka warung minuman instan. Nurfaisah dan anak-anaknya bersantai di halaman rumah saat malam hari. Iqbal Lubis untuk Kurawal.
Dalam keadaan yang semakin terhimpit itulah Ruliyanto harus mencari pekerjaan di luar pulau. Ia menuju Kalimantan, membawa serta Asifa. “Masa pandemi ini tidak tahu saya mau bilang apa. Saya mengalami kehidupan yang begitu sulit,” keluhnya.
Nurfaisah sudah berulang kali mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah. Semua persyaratan administrasi untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun Bantuan Sembako telah diserahkan. Namun, selalu ditolak tanpa penjelasan yang pasti. Jika sudah seperti ini, kepada siapa lagi ia bisa berharap?
M. Ridafi (kiri), Nurfaisah (tengah) menggendong dua anak kembarnya, dan Nursakina (kanan)
di dalam kamar yang sekaligus menjadi ruang tamu keluarga. Iqbal Lubis untuk Kurawal.
Foto jurnalis lepas berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia konsen pada isu sosial, budaya, dan keberagaman. Pernah mengikuti Workshop Dokumenter DocNow. Beberapa karyanya telah dipublikasikan oleh TEMPO, VICE, Mongabay, Tirto.id, DestinasiAsia Indonesia, Xinhua dan EPA. Tahun 2019 ia meraih “The Best Work” dalam program Permata Photojournalist Grant 2019.