Tetap Bertahan
dalam Gelap


Fotografi dan Teks oleh Muhammad Fauzy

Kehidupan terasa kian pelik. Harapan yang dulu dirawat, kini seakan terus menjauh dan memudar. Sekian puluh tahun sudah menjalani hidup sebagai disabilitas sensorik netra dan bertahan dengan meraba segala kemungkinan. Namun, apa yang terjadi kini sungguh semakin menyesakkan.

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Hermina Ursula Ujut (22), perempuan muda kelahiran Desa Orong, Flores, baru dua bulan diterima bekerja di Panti Pijat Tunanetra Jamin. Sejak pandemi melanda, pengelola panti pinjat langsung menutup usahanya sampai kondisi kembali normal. Namun, entah kapan situasi normal itu akan datang. Para terapis disabilitas sensorik netra pun akhirnya harus balik ke asrama dan tanpa banyak pilihan; terisolasi sendiri.
 
Saat ini, Hermina masih tercatat sebagai mahasiswi semester 3 di salah satu perguruan tinggi di Medan, Sumatera Utara. Keterbatasan penglihatan dan minimnya fasilitas pendidikan, membuat Hermina kesulitan untuk mengikuti perkuliahan daring. Mengisi kekosongan waktu, ia memilih mengajar Bahasa Inggris dasar untuk anak-anak di asrama.

MF_AR_LOW_00004
MF_AR_LOW_00005

(Kiri) Hermina sedang mengganti kain seprai setelah digunakan untuk memijat seorang pengunjung.
(Kanan) Hermina sedang memijat pengunjung mengunakan minyak khusus refleksi. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

MF_AR_LOW_00002

Suasana asrama, tempat mereka tinggal dan terisolasi mandiri akibat pembatasan sosial pandemi Covid-19 di Sumatera Utara. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

Selain Hermina, ada pula Silfianus Oldi Bokes (25), pemuda kelahiran Manggarai Timur, Flores, yang mengalami persoalan serupa. Fian, sapaan akrab Silfianus, kembali ke asrama sejak tujuh bulan lalu setelah berhenti bekerja sebagai terapis.
 
Mereka merayakan misa di lingkungan gereja sekitar asrama milik yayasan. Semuanya dilakukan secara terbatas dan memenuhi protokol kesehatan. Termasuk saat memaknai kehadiran Natal dan Tahun Baru.

MF_AR_LOW_00003
MF_AR_LOW_00008
MF_AR_LOW_00007

Dari kanan atas searah jarum jam: Fian beraktivitas di dalam asrama. Fian membersihkan lantai ruangan di asrama. Hermina sedang berkumpul untuk sarapan bersama setelah melakukan pembersihan ruangan pijat. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

MF_AR_LOW_00011

Fian tengah berdoa saat kumpul makan siang bersama di aula kompleks asrama. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

MF_AR_LOW_00006

Dulu, dalam sehari dia bisa mendapatkan empat sampai enam pengunjung. Kini, Fian hanya bisa beraktivitas di dalam asrama bersama teman-temannya.

Fian saat duduk menunggu pengunjung di sebuah ruangan panti pijat.
Jumlah pelanggan selama pandemi berkurang drastis. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

Saat ini, Hermina, Fian dan penyandang disabilitas sensorik netra lainnya terisolasi mandiri di Asrama Karya Murni, sebuah yayasan tuna netra di Kota Medan. Asrama itu dihuni oleh sekitar 50 orang. Dari anak-anak, remaja, hingga lansia. Mereka dibina, dan dirawat oleh yayasan yang selama ini hidup dari bantuan para donatur, termasuk sumbangan dari mantan murid.
 
Hermina dan Fian harus tetap menyambung hidup di tengah pandemi ini. Keterbatasan tentu tidak akan membuat mereka menyerah. Dalam kondisi paling kelam, meski dalam kegelapan, mereka akan tetap bertahan.

MF_AR_LOW_00009

Hermina (baju merah) dan temannya berjalan-jalan di sekitaran kebun asrama.
Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

MF_AR_LOW_00010

Beberapa penghuni asrama bersama-sama menuju gereja. Muhammad Fauzy untuk Kurawal.

Muhammad Fauzy

Jurnalis foto dan fotografer dokumenter lepas yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Bekerja di beberapa kantor berita, media lokal, dan agensi foto. Ia tertarik dengan cerita, budaya, gunung berapi, perjalanan, dan lingkungan.