Setiap kali musibah datang menimpa, Tudesmit Fanggidae (24)
selalu berkata, “susah su datang”. Sebuah ungkapan khas yang
berarti masa sulit sudah datang atau kemalangan bagi
masyarakat Timor. Begitu pula kala pandemi Covid-19 yang
dengan cepatnya merebak ke berbagai daerah di tanah air.

Susah
Su Datang

Fotografi dan Teks oleh Armin Septiexan

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda.

AS_AR_LOW_00006

Usai mandi, Tude duduk termenung di dalam ruang tamu. Armin Septiexan untuk Kurawal.

Pemuda yang akrab disapa Tude itu berasal dari Desa Nunkurus, sekitar 41,6 km dari Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak pemuda Desa Nunkurus, termasuk Tude, yang merajut harapan dengan merantau ke poros pariwisata Indonesia; Pulau Bali. Mereka membangun angan, kelak akan hidup lebih sejahtera. Entah dengan bekerja sebagai satpam di hotel, pelayan restoran, asisten rumah tangga, ataupun sebagai pekerja toko/supermarket. Apapun itu, layak dicoba.
 
Selama di Bali, Tude sempat bekerja di hotel bintang empat dengan gaji Rp 2.800.000 per bulan. Kemudian, ia menjadi satpam sebuah supermarket dengan jumlah gaji yang sama. Namun, belum genap setahun membangun mimpi di Bali, Tude bersama 10 temannya terpaksa harus pulang ke kampung asal. Ia diberhentikan sebagai satpam lantaran terjadi pengurangan karyawan akibat kasus Covid-19 yang semakin merajalela.
 

AS_AR_LOW_00003

Tude tengah berbicara dengan ibu angkatnya di sela-sela mencuci motor. Armin Septiexan untuk Kurawal.

Tak ada satu pun temannya yang lolos dari musibah ini. Semua kehilangan pekerjaan. Ada yang memilih pulang, ada yang memutuskan bertahan di Bali dan mencari peruntungan lain karena tak punya cukup uang untuk membeli tiket kembali ke desa.

AS_AR_LOW_00004
AS_AR_LOW_00009
AS_AR_LOW_00005

Dari kiri atas searah jarum jam: Kamar Tude berukuran 3x2 meter. Tude mencuci sepeda motor Honda Supra-X di depan rumahnya. Tude mengambil air untuk mencuci sepeda motornya. Armin Septiexan untuk Kurawal.

Ketika Tude kehilangan sumber penghasilan, ibu angkatnya, Yuliana Oematan (63) berulang kali menelepon dan memintanya untuk pulang, daripada memaksakan diri tetap tinggal di Bali dengan status pengangguran. Terlebih, sudah empat bulan Tude menunggak biaya sewa kos. Yuliana, yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan sesekali menjadi dukun beranak, telah mengasuh Tude sejak kecil. Sampai sekarang mereka masih tinggal bersama.
 
Selama di desa, Tude diberikan aset sawah oleh Yuliana untuk dikelola. Sawah-sawah ini kemudian disewakan Tude kepada orang lain untuk digarap dengan sistem perjanjian bagi hasil. Tude juga menambah pendapatan dengan menjadi pekerja borongan mengangkut garam kristal ke truk untuk dikirim ke Surabaya. Semua itu dia lakukan agar bisa menyambung hidup di desa setelah terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi.

AS_AR_LOW_00011
AS_AR_LOW_00007
AS_AR_LOW_00008

Dari kiri atas searah jarum jam: Tude bersama Yuliana Oematan sedang berbicara di halaman belakang rumah mereka. 
Tude mengantar dan membawa pulang seekor sapi untuk diberi makan setiap pagi dan sore hari. Tude berdiri di antara
tumpukan karung garam kristal yang akan diangkut menggunakan truk kontainer. Armin Septiexan untuk Kurawal.

AS_AR_LOW_00001

Tude bersama ibu angkatnya, Yuliana Oematan, yang mengasuhnya sejak berusia empat hari. Armin Septiexan untuk Kurawal.

Armin Septiexan

Mulai bergabung dengan komunitas SkolMus (Sekolah Multimedia untuk Semua) sejak tahun 2011. Ia aktif dalam pendidikan dan eksibisi fotografi serta produksi film dokumenter. Ia kerap terlibat dalam pengerjaan beberapa proyek pendokumentasian bersama beberapa organisasi yang berfokus pada isu-isu kemanusiaan, salah satunya bersama AJAR (Asia Justice and Rights). Saat ini, sedang mengerjakan projek film dokumenter panjang pertamanya terkait isu-isu 1965 di Timor Barat.