Wajah-wajah kemiskinan Yogyakarta terpatri
di pemukiman bantaran Kali Code, Kecamatan Terban.

Di sanalah warga yang selama ini terabaikan
setiap hari bergumul dengan pertanyaan,

 Bisa Makan Apa
Hari Ini?

Fotografi dan Teks oleh Amal Purnama

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Sebelum pagebluk, banyak ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh lepas usaha katering. Upah sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu dalam sekali hajatan bagi mereka sudah lebih dari cukup. Setidaknya, mereka tak sampai kedinginan di pinggir jalan menahan lapar. Terlebih kini, tak hanya uang belanja yang mesti dipotong, porsi nasi pun harus dijatah.
 
Isnawati (35), satu dari ratusan buruh lepas usaha katering di Terban, kehilangan pekerjaan saat pandemi. Suaminya yang bekerja serabutan justru lebih sering tak berupah ketika bekerja sebagai relawan Search and Rescue (SAR) DIY. Dalam keadaan terhimpit, mereka terpaksa menggunakan tabungan pendidikan anak untuk menutupi biaya sehari-hari.
 
Begitu pula yang dialami Ati (51). Telah lebih dari 30 tahun ia mengontrak salah satu gubuk kayu di kawasan Kali Code. Tinggal seorang diri dan hanya mengandalkan uang kiriman dari anaknya di Tangerang, Banten. Kisah lain datang dari Esti. Menjual gorengan di depan kamar kos cukup membantunya bertahan di masa yang sulit ini. Apapun akan dia kerjakan, termasuk menjadi buruh masak tetangga dengan upah Rp 15 ribu per hari.

AP_AR_LOW_00002
AP_AR_LOW_00004
AP_AR_LOW_00006
AP_AR_LOW_00003

Dari kiri atas searah jarum jam: Suwarsini (60) menyambung hidup dengan menjual makanan yang dititipkan ke warung-warung. Nova (29) mantan buruh lepas di usaha katering. Ati (51) tinggal sendiri dan tidak bekerja. Sudiyem (40) membantu suami berjualan bakso di depan salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Amal Purnama untuk Kurawal.

AP_AR_LOW_00005

Harjono (63) tidak bekerja hanya membantu istrinya, Suwarsini, menyiapkan makanan untuk dijual. Amal Purnama untuk Kurawal.

Bagi kelas menengah ke atas, pandemi barangkali hanya membatasi ruang gerak saja, berkurang kebebasan untuk berpelesiran. Belanja lewat sistem daring dan menimbun bahan pangan cukup mudah dilakukan. Tinggal menekan tombol smartphone, semua sudah teratasi.

Namun, segala kemudahan itu tidak akan dirasakan oleh mereka yang kondisi perekonomiannya tak jauh beda dengan penghuni pemukiman bantaran Kali Code. Pembatasan sosial dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara bersamaan telah menghambat akses mereka terhadap pangan. 

Pandemi Covid-19 menciptakan sebuah kesadaran akan bagaimana sistem pangan bekerja.

Di sisi lain, pemerintah tidak pernah benar-benar hadir;
sebelum bahkan selama pandemi.

Kemampuan golongan rentan bertahan hidup hingga saat ini bukanlah sesuatu yang alamiah dan dapat dimaklumi begitu saja. Namun, hasil dari ketimpangan struktural dan ketidakbecusan kepemimpinan.       
 
Pernah dilaporkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa 132 juta orang di seluruh dunia akan mengalami kelaparan akibat dampak wabah Covid-19 ini. Bagi 26,09 juta penduduk miskin di Indonesia, bukan tidak mungkin, kelaparan akan lebih mematikan dari infeksi virus itu sendiri. Di tengah himpitan ekonomi, pandemi kian memperburuk situasi.

AP_AR_LOW_00008
AP_AR_LOW_00009

(Kiri) Muntofiah (60) bekerja sebagai buruh cuci harian dan menjual gorengan untuk menambah pendapatan.
(Kanan) Yayah (57) tinggal bersama anak dan suaminya yang seorang pedagang pempek keliling. Amal Purnama untuk Kurawal.

AP_AR_LOW_00017
AP_AR_LOW_00016
AP_AR_LOW_00020
AP_AR_LOW_00018
AP_AR_LOW_00007

Esti (47) tinggal di kos ukuran 3x3 m di antara sesak rumah kawasan Kali Code. Amal Purnama untuk Kurawal.

Amal Purnama

Tinggal dan bekerja sebagai karyawan swasta di Yogyakarta. Fotografer amatir, partisipan Kisah Kisah Tanah Manusia; program kolaborasi Arkademy dan World Resources Institute Indonesia, kolaborator Dialog Lensa 1- Proyeksi Fotografi Multimedia yang digagas oleh PSBK Yogyakarta, kontributor zine Lima Perbincangan dari Kelas Literasi Visual KPY #7 yang diterbitkan oleh SOKONG! PUBLISH.