Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
"Pertama dengar ada corona, kami takut dan lari ke hutan,” kata Mikael, warga Suku Kamoro yang bermukim di pesisir selatan Papua.
Masa awal pandemi merebak Maret 2020, sedikitnya 50 keluarga meninggalkan rumah. Hutan dekat Sungai Yamaima di Kabupaten Mimika adalah tujuan mereka agar terhindar dari virus dan dekat dengan sumber pangan. Berangsur-angsur keluarga lain dari komunitas Suku Kamoro ikut pindah. Mimika merupakan salah satu kabupaten dengan jumlah penderita Covid-19 tertinggi di Provinsi Papua. Mulanya, pandemi muncul di kota-kota pesisir, seperti Jayapura dan Merauke.
Sebagian besar komunitas warga pribumi memilih keluar dari kota, pulang ke kampung asal, atau tinggal di dusun. Dusun adalah penyebutan untuk kawasan pangan seperti daerah tumbuhnya sagu, tempat berburu dan mencari ikan. Area dusun komunitas Suku Kamoro sebagian sudah dibendung tanggul. Tanggul ini terkait dengan rekayasa sistem aliran pembuangan tailing (limbah dari operasi tambang) milik Freeport-McMoRan. Saat ke dusun, warga mengaksesnya menggunakan bus yang disediakan Freeport-McMoRan, atau melalui jalur sungai yang terhubung dengan pelabuhan laut Pomako.
(Atas) Sejumlah anak muda mempersiapkan tempat perayaan kunci tahun, selama masa pandemi mereka tinggal di bivak. (Kiri bawah) Anak-anak bermain di tanggul yang menutup Sungai Yamaima. (Kanan bawah) Ikan-ikan tangkapan warga gampang mati dan membusuk setelah tailing mengalir di sungai. Albertus Vembrianto untuk Kurawal.
Kalau benar ada penyakit,
kami punya obat dari moyang
Jadwal operasional bus 4 hari dalam seminggu. Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat. Untuk keperluan mengambil hasil hutan dan menjual ke pasar, komunitas warga pribumi menyesuaikan jadwal tersebut.
Pilihan lari ke hutan untuk menghindar dari penyakit atau malapetaka lain, pernah dilakukan saat sebelum pandemi. Pada 2011 terjadi penembakan di kawasan tanggul dekat Kampung Nayaro, Kabupaten Mimika, yang menyebabkan tiga warga pribumi tertembak. Meski peristiwa itu tidak menyebabkan kematian, Kampung Nayaro sunyi ditinggalkan warga hingga sekitar enam tahun. Warga percaya hutan sebagai tempat berlindung dan menyediakan sumber hidup.
“Kalau benar ada penyakit, kami punya obat dari moyang,” kata Mikael. Meski hutan sudah mengalami perubahan drastis, warga pribumi Papua masih yakin akan kekuatan hutan. Mereka percaya, mandi di muara sungai saat air surut ke laut akan membawa pergi beragam penyakit dan musibah.
Kelayakan layanan kesehatan, ketersediaan peralatan dan tenaga medis di Provinsi Papua dan Papua Barat, sebetulnya menimbulkan kecemasan terhadap kemungkinan terburuk dari pandemi. Di masa normal, persoalan kesehatan yang berdampak kematian massal berulang-ulang dialami komunitas warga pribumi Papua.
Akhir tahun 2015, sekitar 30 bayi berusia di bawah 3 tahun meninggal di Kabupaten Nduga, Papua. Pertengahan tahun 2017, sekitar 40 bayi di Kabupaten Deiyai, Papua, meninggal karena campak. Awal tahun 2018, masalah malnutrisi menyebabkan sedikitnya 60 bayi meninggal di Kabupaten Asmat, Papua.
Sejumlah warga komunitas pribumi mengangkut hasil mencari dari hutan ke dalam bus. Albertus Vembrianto untuk Kurawal.
(Kiri) Mikael mengambil kayu dari hutan. (Tengah) Generator pembangkit listrik yang dibeli Mikael dari tabungannya selama empat bulan. (Kanan) Patrisius dibantu anaknya, Yesika, mengumpulkan ikan hasil menjaring. Albertus Vembrianto untuk Kurawal.
Dalam penanganan pandemi, pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua dan Papua Barat, memang telah menginisiasi kebijakan penutupan akses masuk. Bandar udara dan pelabuhan di seluruh Papua sempat dihentikan beroperasi untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 dari luar Papua. Kebijakan tersebut disusul dengan penetapan protokol kebiasaan baru, pembuatan fasilitas cuci tangan di sejumlah lokasi keramaian dan menyiapkan rumah sakit rujukan untuk penderita Covid-19.
Namun, berpijak pada respons pemerintah terhadap permasalahan kesehatan di masa lalu, semakin menebalkan ketidakpercayaan warga pribumi terhadap penanganan dan ancaman Covid-19. Kenyataannya sebagian besar warga pribumi Papua justru menyangsikan pandemi dan menganggapnya sebagai rekayasa pemerintah.
Dari kiri atas searah jarum jam: Yustin (10) bersama adiknya di kawasan Sungai Yamaima. Warga diantar bus kembali ke pemukiman setelah menjual hasil hutan di pasar. Patrisius (53) dan anaknya, Yesika (26), memasang jaring ikan di genangan air di kawasan aliran pembuangan tailing. Sungai selain sebagai sarana transportasi, sumber pangan, juga terdapat tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai penghormatan terhadap leluhur bagi komunitas pribumi suku pesisir Papua. Albertus Vembrianto untuk Kurawal.
Maria (58), beranjak setelah memancing ikan dari kawasan pembuangan tailing Freeport McMoran di Kabupaten Mimika, Papua. Albertus Vembrianto untuk Kurawal.
Jurnalis foto lepas dan pencerita visual kelahiran Sumatera. Tinggal di Papua sejak pertengahan 2015. Ia percaya praktik fotografi berkelanjutan merupakan upaya mengupas kompleksitas dan keragaman masalah, memantik kenyataan bahwa manusia hidup bersama, dan mengingatkan tentang tanggung jawab kolektif terhadap apa yang telah dirusak. Cerita fotonya "Fragments of Papua" dianugerahi sebagai karya terbaik di Permata Photojournalist Grant 2018. Ia terpilih sebagai salah satu fotografer pendatang baru dari Asia Tenggara dan Oceania oleh 6x6 Global Talent, program dari World Press Photo, tahun 2019.