Mengadu Asa
di Ibu Kota
Fotografi dan Teks oleh Agoes Rudianto
Perkantoran telah lama tutup. Jalanan lengang, toko-toko kosong, dan pembeli berbulan-bulan menghilang. Kehidupan para penyintas kerasnya Ibu Kota kian terjepit. Tidak sedikit yang akhirnya menyerah dan mundur, kembali ke tanah kelahiran.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Seorang buruh pengepresan plastik bekas bernama Sabudi (30), memutuskan pulang ke kampung halaman di Boyolali, Jawa Tengah. Selama dua bulan penuh dirinya terpaksa tinggal dan menumpang makan di tempat orangtua. Pekerjaannya tak lagi menghasilkan, kiriman plastik bekas dari pemulung pun semakin menipis.
Berbeda dengan Sabudi, ada yang memilih untuk bertahan dengan segala upaya meski harus banting setir. Efendi melepas pekerjaannya sebagai sopir angkot dan beralih menjadi badut keliling. Mencari uang setoran angkot untuk trayek Pasar Minggu–Lebak Bulus senilai Rp 150 ribu per hari kini terasa begitu berat. Apalagi jumlah penumpang menurun drastis sejak orang-orang dilarang bepergian.
Anton (30) awalnya menjual baju anak-anak di pasar malam, tapi beralih
menjadi penjual masker. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
“Sekarang, tiap hari mulai jam 03.00 sampai 05.00 keliling nyari botol bekas buat tambah-tambah,” ucap Juwariyah yang sudah lima bulan tak mampu membayar biaya kontrakan.
Juwariyah (51) penjaga wahana permainan. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
Kliwon (53) sopir bajaj di sekitaran Terminal Blok M. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
“Sudah satu setengah bulan jadi badut keliling. Tadinya sopir angkot, tapi uangnya gak nutup buat setoran,” tutur pria asal Padang itu.
Wabah Covid-19 memang berimbas pada segala lini kehidupan. Tak ada yang sanggup mengelak dari dampak pandemi ini. Terlebih bagi mereka yang bekerja di sektor informal maupun masyarakat yang hasil kerja sehari-hari hanya cukup untuk memenuhi keperluan dapur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta per November 2020, jumlah pekerja di sektor informal mencapai 1.780.827 orang. Jutaan jiwa ini bertarung menghadapi pagebluk yang hampir satu tahun lamanya telah mengoyak manusia. Hidup mesti tetap dilakoni.
Seperti yang dijalani Kliwon (53), sopir bajaj yang kerap mangkal di dekat Terminal Blok M. Ia menyiasati kondisi dengan mengurangi jatah makan. Berhemat menjadi satu-satunya jalan keluar bagi pria asal Brebes ini.
“Biasa makan sehari tiga kali, sekarang dua kali doang biar ngirit. Pulang narik langsung tidur, biar gak kerasa laparnya,” ujar Kliwon.
Tidar (46) penjual jamu dari toko ke toko. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
Abdul Muih (38) sehari-sehari bekerja menjual koper. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
Serupa dengan Kliwon, Juwariyah (51) juga tidak mau menyerah begitu saja dengan keadaan. Dari subuh hingga malam hari, dia berjibaku di jalanan. Dari mengumpulkan botol-botol plastik hingga menjadi penjaga stan wahana hiburan. Dulu, ia menjajakan kopi di sekitar Patung Kuda, tak jauh dari Monumen Nasional. Bila ada yang demo, hasil jualannya bisa berlipat.
Usai memulung, sedari siang hingga malam hari, Juwariyah menjaga stan wahana hiburan. Masih beruntung pemilik wahana permainan tak menarik setoran apabila sedikit pengunjung yang datang. Dari enam wahana, itupun hanya satu yang beroperasi. Sisanya, dibiarkan mati dan tertutup terpal.
“Itu ada yang rusak, karena lama gak dinyalain listriknya,” imbuh Juwariyah.
Kapan semuanya akan berakhir? Tak ada yang bisa memberi jawaban pasti. Mereka, para pekerja yang kian terombang-ambing itu, hanya bisa mengadu asa, semuanya dapat segera diredam. Entah dengan cara apa.
Hingga penghujung tahun 2020, tercatat sudah kesekian kalinya pemerintah memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta.
Ukar (65) puluhan tahun menjadi penjual sayur keliling hingga ke kompleks perumahan. Agoes Rudianto untuk Kurawal.
Fotografer independen yang tinggal di Jakarta. Memulai karirnya sebagai fotografer profesional sejak tahun 2007. Ia membagi waktunya antara berbagai penugasan dan proyek inisiatif sendiri yang berfokus pada masalah sosial, budaya, dan hak asasi manusia. Karyanya telah diterbitkan di berbagai publikasi lokal dan internasional, antara lain: South China Morning Post, Annabelle Magazine, Vi Menn Magazine, Strategic Review Magazine, Forbes Indonesia, DestinAsian Indonesia, dan National Geographic Indonesia.