Kembali Menyemai Kehidupan
Fotografi dan Teks oleh Johannes P. Christo
Bali dengan pariwisatanya, bagaikan api dengan asap. Puluhan tahun sejak eksotika Pulau Dewata pertama kali dipamerkan ke Eropa, upaya-upaya ‘menjual’ Bali tak pernah berhenti. Kalangan berdasi dari kota besar ikut berebut kue pariwisata dengan warga lokal. Petani di kaki gunung pun dibuat tergiur. Semuanya baru sunyi dan rela menepi ketika pandemi menampar.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Mulanya, Man Jenek mengira masa kelam ini hanya akan terjadi beberapa saat saja. Namun, telah lewat bulan demi bulan, kabar baik tak kunjung terdengar.
Sudah 25 tahun Nyoman Jenek Arta (49) bergelut di dunia pariwisata, khususnya bidang transportasi. Sebelum gering agung (pandemi) terjadi, Man Jenek, sapaan akrab Nyoman Jenek Arta, bisa mengantongi uang sampai 6 juta rupiah per bulan. Bahkan setiap pulang kampung ke Desa Tembok di Buleleng, tak jarang ia menggelar hajatan bersama teman-temannya.
Sejak wabah melanda, roda perekonomian Bali yang bersandar pada belanja wisatawan, memang seketika tercekat. Terlebih ketika turis Tiongkok dilarang masuk ke Indonesia. Man Jenek pun ikut terpukul. Dengan sisa uang Rp 150 ribu, ia kembali ke desa bersama anak dan istrinya pada awal Maret 2020.
Armada taksi yang biasanya dipakai untuk mencari penumpang akhirnya dikembalikan ke sang pemilik. Menghabiskan hampir separuh hidup dalam gemerlap pariwisata, tak terbayangkan olehnya untuk melakukan pekerjaan lain.
Hingga suatu hari, Dewa Komang Yudi Astara, Kepala Desa Tembok, datang dan menawarkan pekerjaan. Rasa gengsi dalam diri sempat membuat Man Jenek ragu untuk menerima ajakan sebagai petani. Apalagi ia tidak memiliki pengalaman dalam bercocok tanam. Program yang dicetuskan oleh Dewa Mekel, nama panggilan Kepala Desa itu, sesungguhnya bisa menjadi solusi atas tidak efektifnya skema bantuan langsung tunai dari pemerintah yang tidak langsung menyasar para pekerja informal.
Dari atas searah jarum jam: Nyoman Jenek Arta membawa tanaman jagung sisa hasil panen. Nyoman Jenek Art mengemburkan tanah. Nyoman Jenek Arta melubangi tanah agar bisa ditanami bibit tanaman sorgum. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
Sebagai petani, ia diupah Rp 50 ribu per hari. Agar ada tambahan pemasukan, istri Man Jenek, Ni Luh Reni (44), bekerja membuat tamas (wadah sesaji dari daun kelapa). “Dulu uang banyak cepat datang, tapi cepat habisnya. Sekarang biarpun sedikit, tapi terasa nikmat,” tuturnya. Pada awal 2021, istri Man Jenek diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di kantor desa.
Ketika masa awal pagebluk, ada puluhan mantan pekerja pariwisata yang menjadi petani. Luas lahan yang mereka garap mencapai 2,5 hektare. Pihak desa menyewa lahan tersebut dari seorang tuan tanah. Mereka menanam berbagai sayur-mayur, buah-buahan, jagung, dan sorgum yang hasilnya kemudian dijual dan dikonsumsi sendiri.
Namun, setelah berjalan beberapa bulan, banyak yang berhenti dan kembali mengadu nasib di sektor pariwisata. Lainnya memilih menjadi buruh bangunan, menekuni bisnis online, dan pekerjaan lain di kota. Hingga jelang akhir tahun 2020, hanya 10 orang yang masih setia merawat kebun, termasuk Man Jenek. Meski hasilnya pas-pasan, ia merasa justru lebih menikmati hidup. Begitu pula saat berjalan kaki setiap hari menuju kebun, ia seolah belajar kembali menyemai kehidupan.
“Sekarang saatnya mengabdi pada ibu pertiwi,” kelakar rekan Man Jenek, Ketut Arta yang sebelumnya juga bergelut di dunia pariwisata.
Dari kiri atas searah jarum jam: Nyoman Jenek Arta memungut sisa-sisa cabai yang jatuh di kebun untuk kemudian dikonsumsi sendiri di rumah. Seorang petani mempersiapkan jagung sisa hasil panen untuk dibakar agar bisa dikonsumsi bersama-sama para pekerja. Nyoman Jenek Arta bersama dua rekannya, Dewa Tomi (tengah) dan Nyoman Greges (kanan) membersihkan rumput liar di bawah tanaman cabai. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
“Semakin gengsi dipertahankan, keluarga jadi korban. Yang dulu biarlah menjadi masa lalu,” ungkap Man Jenek.
Nyoman Jenek Arta berpose di kebun yang digarap oleh mantan pekerja pariwisata. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
Ni Luh Reni mengaturkan sesaji di rumahnya saat Hari Raya Hindu Purnama Kapitu. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
(Kiri) Komang Puji memijat punggung ayahnya, Nyoman Jenek Arta saat istirahat siang.
(Kanan) Dapur sederhana di rumah milik keluarga Nyoman Jenek Arta. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
Nyoman Jenek Arta dan istrinya, Ni Luh Reni berpose di halaman rumahnya sebelum berangkat ke kebun. Johannes P. Christo untuk Kurawal.
Berprofesi sebagai pewarta foto lepas sejak 2009 di Bali. Selalu tertarik dengan isu-isu kesejahteraan serta konflik satwa, lingkungan, sosial budaya, dan kepercayaan. Memiliki pengalaman penugasan untuk TEMPO, DestinAsian Indonesia, The Australian, Reuters, Greenpeace, Jakarta Animal Aid Network dan Dolphin Project. Beberapa loka karya yang pernah diikuti antara lain Angkor Photo Workshop, Foundry Photojournalism di Istanbul, dan Permata Photojournalist Grant 2020. Saat ini sedang menggarap proyek foto pribadi yang berkaitan dengan hewan dan manusia.