Pelangi Setelah Hujan

Fotografi dan Teks oleh Gevi Noviyanti

Di tengah pandemi, kasus perceraian meningkat. Kerentanan ekonomi menjadi dalang di balik fluktuasi kasus. Putrias (30 tahun) adalah seorang istri yang memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga dengan suaminya di tengah pandemi ini—keputusan yang tidak mudah, karena dalam sebagian besar kasus, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dari proses perceraian, dan menanggung trauma dari perceraian tersebut.

Putrias optimis masa depan keluarganya akan lebih baik.

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Dalam dua tahun masa pandemi, kasus perceraian menjadi residu yang paling kentara. Perselisihan yang terus-menerus di tengah berbagai kegentingan—terutama menghadapi kerentanan ekonomi— menyudutkan banyak pasangan, sehingga pada akhirnya banyak di antara mereka yang memutuskan untuk berpisah.

Kabupaten Cirebon termasuk salah satu wilayah dengan angka perceraian tertinggi secara nasional di tengah Covid-19. Sebanyak 7.328 perempuan di Kabupaten Cirebon menjadi janda sepanjang tahun 2020. Pada 2021, angka ini meningkat menjadi 7.551 kasus yang terdiri dari 2.226 cerai talak (cerai yang diajukan oleh laki-laki atau pihak suami) dan 5.507 cerai gugat (cerai yang diajukan oleh perempuan atau pihak istri).

Selain lantaran kerentanan ekonomi rumah tangga di tengah pandemi, tingginya kasus perceraian berbanding lurus dengan tingginya kasus perkawinan anak di wilayah ini. Pada 2020 saja, Pengadilan Agama Sumber di Cirebon menerima 543 pengajuan pernikahan di bawah umur dan pada 2021 terdapat 498 pengajuan. Kondisi sebagian besar pasangan suami-istri dari pernikahan dini tersebut belum terjamin secara finansial dan emosional sehingga di tengah pandemi justru semakin rentan dihadapkan pada perselisihan yang berakhir pada perceraian.

GN_02

Tanaman hias yang kerap kali dikaitkan dengan status perempuan yang sudah bercerai. Monstera adansonii (variegated) atau familiar di masyarakat dengan sebutan Janda bolong. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Pasangan yang kehilangan pekerjaan menjadi alasan utama sebagian besar kasus perceraian. Suami yang kehilangan pekerjaannya menuntut tanggung jawab istri yang bertambah besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pola komunikasi yang berubah lantaran perjumpaan yang intens selama pandemi juga menyumbang percekcokan di antara para pasangan. Kekerasan dalam rumah tangga pun tidak terhindarkan. Perceraian, mau tidak mau, menjadi solusi utama.

Namun, sejatinya keputusan untuk bercerai tidak pernah menjadi keputusan mudah. Terutama bagi para perempuan. Banyak pertimbangan yang harus mereka pikirkan sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan, apalagi ketika mereka masih bergantung secara ekonomi dengan sang suami.

Banyak perempuan yang mempertahankan hubungan karena berpandangan bahwa suatu saat pasangannya akan berubah, dan rela walau terus disakiti. Lain cerita ketika mereka sudah memiliki anak, pertimbangan atas hak asuh dan pendidikan anak menjadi beban tambahan yang harus dipikirkan. Singkat kata, perempuan jadi pihak yang paling dirugikan ketika menghadapi proses perceraian. Stigma "janda" yang melekat di masyarakat menjadi beban tersendiri bagi mereka.

Selain memberi pengaruh besar pada karier mereka, status janda pun terkadang mempersulit perempuan dalam menjalani hubungan atau pernikahan selanjutnya, terutama pandangan dari pihak calon keluarga laki-laki yang tidak mudah melepaskan anak bujangnya untuk menikahi seorang janda. Perempuan yang bercerai atau berstatus janda kerap kali dikaitkan dengan hal-hal negatif atau dicap tidak baik karena tidak bisa mempertahankan status pernikahannya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, sudah sakit lahir dan batin disakiti pasangan, ditambah pandangan negatif dari masyarakat yang turut ikut campur walau tidak tahu-menahu persoalan yang sebenarnya.

Rutinitas merapihkan kamar setiap pagi ketika sang anak telah bangun.

Rutinitas merapihkan kamar setiap pagi ketika sang anak telah bangun. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Garasi rumah yang Putrias sulap menjadi warung klontong.

Garasi rumah yang Putrias sulap menjadi warung kelontong. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Putrias (30), ibu muda dengan satu orang anak usia 6 tahun yang bercerai di tahun 2021. Ia bercerai dari suami keduanya yang berstatus duda satu anak yang menikahinya pada 2020. Anaknya yang tinggal bersamanya merupakan buah perkawinan dari suami pertamanya. Perceraian mereka didasari alasan ekonomi lantaran sang suami tidak pernah memberikan nafkah kepadanya. Hal ini diperburuk lagi di masa pandemi lantaran suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempatnya bekerja, dan tidak kunjung berhasil mendapatkan pekerjaan pengganti.

Pada Mei 2021, suaminya pergi dari rumah. "Sebelum dia pergi dari rumah, dia mau bawa buku nikah kami, sampai ribut besar. Pak RT sampai datang untuk melerai. Akhirnya, buku nikah dipegang masing masing. Mungkin tadinya dia mau ngegantungin status kami. Biar saya enggak berani ngapa-ngapain. Soalnya kalau mau ngajuin perceraian minimal ada satu buku nikah yang dibawa ke pengadilan."

Tiga bulan setelah perginya sang suami, Putrias memantapkan diri untuk mengurus proses perceraiannya karena tidak ada lagi harapan yang bisa dipertahankan.

Perceraian menimbulkan trauma tersendiri bagi yang mengalaminya, terutama dalam hal membangun kepercayaan. Ada kecenderungan orang yang mengalami trauma lantaran perceraian kelak akan berlaku defensif terhadap orang-orang atau lingkungan yang baru. Trauma yang timbul diakibatkan oleh proses menuju perceraian itu sendiri. Sekilas lalu, perceraian ibarat kemenangan bagi perempuan yang memilih berpisah dari pasangannya. Namun, proses panjang untuk sampai ke tahap itu tak semudah yang dibayangkan. Konflik dengan pasangan cenderung menguras tenaga dan pikiran—belum lagi jika pihak keluarga tidak mendukung atau menyalahkan pihak perempuan atas kegagalan hubungan pernikahannya.

GN_06

Rasel berusaha untuk memindahkan dan menjaga koleksi tanaman hias yang dirawat oleh neneknya.. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Dukungan dari lingkungan terdekat untuk tidak ikut menghakimi atau mendiskreditkan perempuan yang mengalami perceraian sangat dibutuhkan. Dukungan tersebut dapat membantu proses pemulihan secara mental para perempuan maupun anak-anak korban perceraian untuk menjalankan hidup yang lebih baik.

"Rasel (anaknya) jadi posesif gitu setelah saya sama yang kemarin. Kayaknya dia ngalamin trauma. Saya kirim WA ke tukang gas malah disangka pacaran. Kata dia, mamah awas aja kalau pacaran-pacaran! Kalau saya pesan jemputan naik Grab, dia juga gitu, ditanya-tanya saya mau ke mana, terus dia suka bilang, awas ya kalau di jalan ngobrol-ngobrol atau tanya-tanya, enggak boleh! Mungkin nanti ke depannya bakal lebih susah kalau mau menjalin hubungan lagi."

Tak mudah bagi Putrias melalui dua badai dalam waktu yang bersamaan, badai Covid-19 dan badai dalam rumah tangganya. Ia harus menjaga kesehatan tubuh dan mentalnya agar bisa melalui hari-hari yang cukup berat demi melanjutkan kehidupannya.

Terkadang ketika seorang perempuan mengalami perceraian, statusnya yang seorang janda kerap dipandang dengan belas kasihan, seakan-akan mereka tidak berdaya karena mereka tidak memiliki pasangan yang dianggap bisa menopang hidupnya. Padahal, perempuan mampu berjuang dan berdaya atas apa yang ia miliki, tanpa bergantung pada suaminya.

GN_05

Di usia enam tahun, Rasel telah menyadari bahwa berpenampilan rapi dan wangi akan terlihat tampan. Setiap selesai mandi, Rasel meminta Putrias untuk menyisir dan memberikan gel pada rambutnya, serta menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Putrias memilih bangkit dan menerjang badai yang ia alami dengan membuka usaha kecil-kecilan untuk menopang hidupnya dan Rasel. “Ya, saya jualan walau dapetnya sedikit enggak apa, yang penting bisa dimakan sendiri, disyukurin aja. Kalau ada lebih, bisa ditabung atau bisa buat yang lain.”

Pada November 2021 setelah putusan pengadilan menyetujui perceraiannya, Putrias memilih untuk pindah dari rumahnya ke rumah orang tuanya. Rumah lamanya ia sewakan kepada orang lain dan di rumah orang tuanya ia membuka warung kelontong kecil-kecilan yang menjual sembako dan makanan ringan yang ia buat sendiri. "Daripada saya mikirin dia, bayarin utang-utangnya dia, enggak pernah ngasih nafkah, sakit lahir-batin, ya lebih baik pisah aja.”

Mengutip ucapan Rupi Kaur seorang penulis asal Kanada, "Seperti pelangi setelah hujan, sukacita akan menampakkan dirinya setelah kesedihan." Harapan akan masa depan yang lebih baik kini menjadi tujuan hidup Putrias. “Udah cukuplah rasa pahitnya buang jauh-jauh, ke depan belum kepikiran untuk menjalani hubungan lagi, yang penting nikmatin hidup dan ngurusin bocah dulu,” tandasnya.

Rasel terkadang protektif terhadap ibunya.

Rasel terkadang protektif terhadap ibunya. Gevi Noviyanti untuk Kurawal.

Gevi Noviyanti

Fotografer potret dan dokumenter asal Cirebon. Beberapa pendidikan fotografi yang pernah diikutinya antara lain Darwis Triadi School of Photography Jakarta (2014), Kelas Pagi Yogyakarta (2015-2017), Arkademy, PannaFoto Institute dan mentorship bersama Christophe Loviny. Ia juga aktif terlibat dalam kerja kolaboratif, seperti kolaborasi bersama musisi, pembuat film dan pembatik untuk berkarya.