Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Di desa, panggilannya Tata Juli. Usianya sekitar 60 tahun. Tata adalah panggilan yang lazim untuk perempuan seusianya, berasal dari bahasa Kemak yang berarti nenek. Sebagai seorang nenek, Juliana Bui Kuta sekaligus berperan sebagai orang tua tunggal bagi seorang anak dan seorang cucunya. Keduanya masih usia sekolah—anaknya kelas 6 SD dan cucunya kelas 1 SD.
Saat saya menjumpainya, Tata Juli terlihat sibuk menjemur gabah. Seluruh komunikasi kami lakukan perlahan karena pendengaran Tata Juli yang terbatas. Untuk bercerita dengannya, saya harus duduk dekat dengannya dan bicara dengan nada suara lebih kencang.
Saya memperhatikan gabah yang dijemurnya—yang ia peroleh dari hasil kerja di sawah kerabatnya. Selama ini, ia membantu dalam kerja potong padi di beberapa petak sawah dengan bayaran berupa gabah. Sambil menenun, dia menjaga gabahnya dari gangguan ayam-ayam tetangga. Sehari-hari ia bertugas mengurus rumah tangga dan menenun. Sejak subuh dia sudah bangun dan mulai memasak, mengurus rumah, mengurus anak dan cucunya, dan menenun tais (kain tenun).
Kebiasaan menenun telah mengisi kesehariannya sejak kecil. Mendiang ibunya adalah guru tenun pertamanya. Di desanya itu, kemampuan menenunnya melegenda. Motif ikat yang dibuatnya dikenal rapi dan bagus.
Lantaran itu, pada masa sebelum pandemi, kain tenun Tata Juli laris-manis. Dalam dua bulan, dia menjual empat sampai lima lembar kain ukuran besar dengan harga yang baginya layak, di kisaran Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per lembar kain. Pada masa itu pula, pasaran tenun stabil. Galeri Tenun Dekranasda Belu konsisten membeli kain-kain tenun dari desa-desa, termasuk dari Tata Juli. Kondisi ini berjalan normal selama kurang lebih 4 tahun. Pada 2020, situasi pun berubah.
Angel menunjukan bunga liar yang dipetiknya dari sekitar halaman rumah Metriana. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Tenunan milik nenek Juliana Abu Leki yang sementara dalam proses pengerjaan. Semua dikerjakan sendiri dari nol. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Juliana Abu Leki, berpose di dalam rumahnya. Rumah ini dia bangun dengan hasil dari jualan kain tenun buatannya. Di rumah ini dia tinggal bersama anak dan cucunya yang masih kecil. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Senda Kai Diki, perempuan penenun berusia 54 tahun, mengalami hal serupa. Pendapatannya dari menenun menurun drastis selama pandemi. Suami Mama Senda sudah lama di tanah rantau—jauh di Kalimantan sana. Selama ini, ia tinggal bersama cucu dan seorang anaknya di rumah. Sementara salah seorang anaknya yang lain kini berkuliah di universitas swasta di Kota Kupang.
Rutinitasnya sehari-hari diawali dengan kegiatan yang bersentuhan dengan dapur. Ia menyiapkan sarapan bersama cucu dan anak bungsu laki-lakinya yang tengah duduk di bangku SMA. Pagi itu, ia sekaligus memasak panganan untuk makan siang nanti. Segera setelah urusan domestik hari itu tuntas, ia akan mulai menenun.
Ia mulai belajar menenun dari orang tua angkatnya. Dia juga belajar dari ibu-ibu di lingkungan bermainnya. Hingga kini tenun menjadi kerja utama baginya. Lebih dari lima tahun terakhir, dia fokus menenun dengan pendekatan alamiah. Ragam warna kain tenunnya bersumber dari pigmen berbagai tumbuhan di wilayah Desa Sadi.
“Tenun alami punya harga bagus. Kami biasa bawa kami punya tenun ke Galeri Tenun Dekranasda Belu. Di sana pasti dibeli kalau kualitasnya baik. Jadi kami tidak susah pasar,” jelasnya. Kini, arah peruntungan telah jauh berubah.
Gabah di rumah Senda Kai Diki didapatkan dari pemberian keluarga dan kerabatnya yang menggarap lahan miliknya, juga dari kerja sebagai buruh tani, membantu kerabat menanam dan memanen padi di lahan milik orang lain. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Memasuki tahun 2020, saat warga Kabupaten Belu menyongsong pesta demokrasi pemilihan bupati, kabar wabah Covid-19 mulai santer. Di antara riuh janji-janji politik, cerita-cerita tentang ganasnya virus menyebar cepat lewat televisi, radio, dan layar ponsel warga. Di Desa Sadi, warga bersiap cemas. Ritual adat Ara Peri—semacam ritual tolak bala—pun dilakukan. Galeri tenun, tempat para penenun memasarkan kain tenun, juga mulai tutup. Pendapatan ekonomi penenun pun menurun drastis, termasuk pula pendapatan Mama Senda.
Kebutuhan rumah tangga meningkat. Anaknya yang masih usia sekolah belajar dari rumah dengan sistem pembelajaran daring. Keberadaan ponsel pintar kian menjadi keharusan. Kebutuhan pulsa data meninggi. Sementara itu, produktivitas kain tenun macet karena ketiadaan pasar. Harapan satu-satunya hanya pada kiriman uang gaji suaminya yang bekerja sebagai buruh kebun sawit di Kalimantan.
Kondisi ini tidak membuatnya berhenti menenun. Dia terus menenun dengan modal bahan yang ada. Pendekatan menenun secara alami terpaksa tidak dilakukannya. Dia kembali menenun dengan bahan-bahan sintetis yang prosesnya dirasa lebih praktis dan cepat. Harga kain tenun alami yang awalnya antara Rp500-700 ribu per lembar kini terpaksa dijualnya seharga Rp300 ribu. Harga kain tenun sintetis berada di kisaran Rp150-300 ribu per lembarnya. Ironisnya, harga bahan tenun seperti benang pun mulai melaju naik.
Senda Kai Diki bersama putranya, Yusuf. Yusuf kini duduk di bangku SMA. Anak sulung Mama Senda sedang kuliah di salah satu universitas swasta di Kota Kupang. Sedangkan yang bungsu masih menempuh pendidikan SMP. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Senda Kai Diki sedang menenun kain tenun ikat pesanan orang. Mama Senda menenun untuk biaya pendidikan anak-anaknya dan kebutuhan hidup sehari-hari. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Sementara itu, peruntungan Lena Olo Koli justru mengantarkannya untuk menggeluti dunia tenun di tengah pandemi ini. “Tadinya saya kerja di rantau. Covid-19 ini yang bikin saya pulang dan mulai tenun lagi,” ungkap perempuan berusia 48 tahun ini.
Belasan tahun lamanya, Lena Ulu Koli bekerja sebagai buruh migran. Malaysia dan Kalimantan adalah wilayah jangkauan kerjanya. “Kerja sawit berat. Tapi uangnya baik,” jelasnya. Hasil yang dia kumpulkan dari tanah rantau dimanfaatkannya untuk keperluan anak sekolah dan membangun rumah permanen di Dusun Leitas, Kampung Raihanas. Rumah yang belum diplester itu—berlantai semen kasar—ditempatinya dan anak laki-lakinya.
“Saya pulang su satu tahun ini baru saya tenun lagi. Selama di rantau saya tidak tenun,” ujarnya. Lena belajar tenun sejak usia remaja. Dia memutuskan mengais rezeki di tanah rantau bersama teman-teman perempuannya. Saat itu, Lena sudah berpisah lama dengan suaminya. Masalah dalam keluarga membuat suaminya angkat kaki dari rumah dan hingga kini hilang kabar berita.
Keluar dari kampung membuat Lena tidak lagi akrab dengan benang dan peralatan tenun. Jari-jarinya yang semula terampil kini lebih banyak bersentuhan dengan besi-besi galian, karung-karung pupuk sawit, dan alat pemanen sawit. “Ini tangan sudah kaku sekali. Ini tahun lalu pulang, baru saya belajar kembali pegang benang,” katanya.
Satu tahun Lena kembali berhubungan dengan tenun. Kain hasil tenunannya dibawanya langsung ke Mota’ain—portal perbatasan Indonesia-Timor Leste. Seorang diri dia menumpang ojek untuk memasarkan tenunannya ke sana.
Mama Lena tidak merasakan rentang waktu ketika kain di desanya laris manis. Saat Covid-19 bermula, masa berlaku paspor Mama Lena berakhir. Dia ingin kembali merantau, tetapi pada periode itu perjalanan antarnegara telah dibatasi. “Kalau bisa kembali, saya bakal kembali. Tapi, bagaimana dengan penyakit wabah ini? Jadi saya pilih tenun saja. Jual sedikit-sedikit untuk beli gula, kebutuhan adat punya,” ujarnya.
Lena berharap kondisi kembali pulih seperti sedia kala. Kembali ke tanah rantauan masih menjadi hal yang dia inginkan. Seiring masa tunggunya di kampung, dia kembali melatih jari-jarinya menenun. Dalam dua tahun ini, jari-jarinya kembali akrab dengan benang dan alat tenunnya.
Metriana Bui Kuta menenun di teras rumahnya ditemani oleh ibunya. Baginya, di dalam rumah terasa panas dan kurang cahaya di siang hari untuk menenun. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Ilmu tenun dan keakraban jemari dengan benang dan alat tenun ini yang juga menguatkan Metriana Bui Kuta, perempuan penenun berusia 42 tahun, untuk menjadi tulang punggung keluarga hanya bermodalkan hasil tenunnya.
Metri sempat lupa berapa usianya. Berdasarkan yang tercatat di kartu keluarga, dia lahir di Fatubesi pada 4 Mei 1980, tepatnya di Desa Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Dia adalah salah satu penenun yang masih tergolong muda di desa. “Saya belajar tenun sejak tamat SD,” katanya. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya yang berusia senja.
Empat tahun terakhir ini, ibunya yang dahulu mengajarinya menenun mulai sakit. Tangan kanan sang ibu lumpuh, dan sejak itu dia berhenti menenun. Ayahnya yang juga sudah lansia kini kelihatan sudah renta dan tidak bisa lagi melakukan kerja-kerja di kebun. Kondisi ini mengharuskannya jadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Ilmu tenun kini menjadi modal utamanya dalam mencari pemasukan demi keluarga.
Sebelum pandemi COVID-19 melanda, dari penghasilan tenun Metri telah menabung sebagian pendapatannya untuk membuka usaha kios di rumah. Saat itu, hasil dari penjualan tenunnya cukup lumayan. “Waktu itu saya tidak terlalu khawatir. Kain yang saya bawa ke Kantor Dekranasda selalu laku,” kenangnya.
Metri bercerita, setiap hari dia bangun jam 4 dini hari dan mulai menenun. Di sela-sela kesibukannya menenun, dia juga harus mengangkat air dari sumur yang posisinya di seberang jalan umum, menyiapkan makanan, hingga mengurus kebutuhan ayah dan ibunya. Barulah pada pukul 11 malam, dia merasa bisa beristirahat.
Metriana Bui Kuta berjalan pulang seusai mengambil air dari sumur tetangga. Hampir seluruh pekerjaan rumah tangga digeluti oleh Metriana karena kedua orang tuanya yang sudah tua tidak mampu lagi melakukan pekerjaan berat. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Suasana dapur di rumah Metriana Bui Kuta. Hasil panen jagung tahun ini digantung tepat di atas tungku kayu agar tidak diserang kutu. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Metriana Bui Kuta di sela-sela aktivitas menenun juga harus mengurus ternak dan kebun. Selain ditanami dengan tanaman seperti jagung, ubi, dan kacang-kacangan, di halaman samping rumah Metriana juga ada kandang ternak babi. Alfred W. Djami untuk Kurawal.
Saat Covid-19 datang, disertai dengan pergantian Bupati di Kabupaten Belu, aktivitasnya pun mulai berubah. Kantor Dekranasda yang awalnya menjadi pihak yang selalu membeli kain tenunnya pun berhenti bergerak. Kantor-kantor tutup, sekolah juga tutup.
“Tapi sekarang tidak lagi. Sekarang, sejak Covid-19, saya tidak pi kantor tuk jual kain lagi. Jual di kampung harga 300, 450. Bahkan 500 ribu tidak pernah sampai,” ungkapnya.
Seperti penenun yang lain, Metri juga mengaku bingung dengan kondisinya sekarang di saat situasi wabah telah mereda.
Fotografer lepas yang tinggal di Kota Atambua ini mulai terjun di dunia media sejak 2002. Pria yang pernah terlibat sebagai relawan pendamping di Kamp Pengungsi Eks-Timor Timur ini mendalami fotografi jurnalistik dan dokumenter di Kelas Pagi Yogyakarta pada 2012. Selain mengerjakan proyek fotografi pribadinya Timor Observer dan Sentimental Days, ia juga aktif di ruang kolektif Nu Kolektif yang fokus pada kerja-kerja lintas seni berbasis komunitas.