Kapan Paceklik
Berakhir?
Fotografi dan Teks oleh Riska Munawarrah
Hasil kebun yang membusuk dan anjloknya harga jual, membuat kehidupan para petani di Aceh semakin terdesak. Tak banyak pilihan yang bisa mereka lakukan, selain hanya pasrah dan mencoba berdamai dengan keadaan. Seperti yang dialami M. Yacob (59) dan istrinya, Anita (35). Pandemi Covid-19
kian memperburuk keadaan ekonomi keluarga mereka.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
M. Yacob membersihkan lahan yang akan digarap sebagai sawah. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Dulu, Yacob bisa menjual terong hasil kebunnya di Indrapuri, Aceh Besar, seharga Rp 8.000 per kilogram. Sekarang, hanya laku setengah dari harga normal. Cobaan semakin berat ketika mendapati banyak terongnya yang membusuk; tidak bisa dijual dan terbuang percuma. Padahal, hasil penjualan saja sudah tidak cukup untuk menutup biaya perawatan sayur.
"Terongnya banyak yang busuk. Hasil jual bahkan tidak cukup untuk membeli pupuk," keluh Yacob.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Nilai Tukar Petani (NTP) terhitung sejak Maret hingga Desember tahun 2020 terus mengalami penurunan. Rata-rata angka NTP selalu kurang dari 100. Data tersebut jelas menunjukkan bahwa petani sudah cukup lama mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pengeluaran jauh lebih besar dibandingkan pendapatan mereka.
M. Yacob mengalami kerugian akibat banyaknya terong yang membusuk di kebunnya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Kondisi pandemi yang tak kunjung membaik membuat Yacob harus melakukan berbagai cara agar tetap bisa menghidupi anak-anaknya. Hasil pertanian saja sudah jelas tidak akan cukup membiayai kebutuhan keluarga. Istrinya pun mencari nafkah dengan mengambil pekerjaan sampingan sebagai tukang cuci gosok. Setidaknya, uang tersebut bisa membantu menutupi keperluan dapur.
"Sekarang laundry juga lagi gak ramai. Biasanya banyak santri pesantren yang cuci di sini. Tapi karena pandemi, warga tidak boleh masuk area pesantren," ucap Anita. Usai bekerja, biasanya ia langsung membantu suaminya menggarap kebun.
Wabah ini telah merenggut mimpi mereka untuk membangun kehidupan lebih baik. Barangkali hanya ada satu pertanyaan yang terus terngiang di benak mereka, “kapan paceklik ini akan berakhir?”
(Kiri atas) M. Yacob berjalan di area kebunnya. (Kanan atas) Kebun M. Yacob di kawasan Indrapuri, Aceh Besar. (Bawah) M. Yacob mengendarai mobil menuju kebunnya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
(Atas) Anak-anak mencari ikan di kolam dalam kawasan kebun M. Yacob. (Kiri bawah) Anita menyetrika
pakaian pelanggannya. (Kanan bawah) Bayangan Anita pada mesin cuci di rumahnya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Selain keluarga Yacob, banyak pula petani dan pekerja serabutan lainnya di Aceh yang mengalami kemalangan yang sama.
(Atas) M. Yacob berpose di area kebunnya. (Kiri bawah) Anak-anak Yacob bermain bersama di dalam rumah.
(Kanan bawah) M. Yacob beristirahat di rumahnya. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Orang-orangan sawah di kebun milik M. Yacob untuk menakut-nakuti hama pertanian. Riska Munawarrah untuk Kurawal.
Lahir di Banda Aceh tahun 1998. Aktif dalam organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Memulai karir sebagai pewarta foto pada tahun 2018 di Tabloid Pikiran Merdeka. Ia terpilih sebagai penerima Permata Photo Journalist Grant 2019 dan meraih salah satu predikat “The Best Work of PPG 2019”.