Lunang Tlang
Ota Ine

Fotografi dan Teks oleh Michael Eko Hardianto

Suku Punan tak pernah sekalipun membayangkan akan berhadapan dengan pandemi Covid-19.
Pada zaman dulu, suku yang menghuni Desa Punan Adiu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara,
ini dikenal sebagai pemburu nomaden yang lihai menjelajah hutan.

Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda

Setelah bertahun-tahun tinggal di kampung permanen, wabah ini akhirnya membawa mereka kembali ke hutan. Masyarakat meyakini bahwa hutan selalu menjadi penyelamat di kala krisis. Ketika pandemi mendisrupsi ketahanan pangan di Indonesia, Suku Punan justru secara mandiri dapat mengatasi permasalahan ini. Sebelum memasuki kehidupan modern dengan bercocok tanam dan menjual hasil tani ke kota, Suku Punan terbiasa mengumpulkan tanaman pangan maupun hewan buruan dari hutan.
 
Di areal hutan, mereka bercocok tanam, memancing, dan berburu hewan. Ketika tambang batu bara yang beroperasi di sekitar kampung tetangga menyebabkan krisis air, hutan masih menyediakan air bersih. Di tengah-tengah terhentinya proses pendidikan formal karena pandemi, hutan menjadi area bermain dan tempat belajar bagi anak-anak untuk mengenal kembali identitas, adat, dan lingkungan hidupnya.

ME_AR_LOW_00002
ME_AR_LOW_00004
ME_AR_LOW_00006
ME_AR_LOW_00003

Dari kiri atas searah jarum jam: Polusi dari limbah tambang batu bara telah mencemari Sungai Malinau dan membuat warga mengalami krisis air bersih. 
Lukas dan anaknya, Ansel, mengumpukan ikan hasil tangkapan di Sungai Adiu. Seorang ibu menjemur kacang yang ia panen. Ular piton, hewan buruan yang
menjadi sumber protein bagi Suku Punan Adiu. Michael Eko Hardianto.

ME_AR_LOW_00005

Ansel menjala ikan di Sungai Malinau. Karena polusi dari tambang batubara yang dibuang ke sungai, tangkapan ikan menjadi semakin berkurang. Michael Eko Hardianto.

ME_AR_LOW_00007

Satu kelompok warga sedang sarapan bersama di pinggir Sungai Adiu sebelum senguyun (bergotong royong) memulai pekerjaan menebas ladang. Michael Eko Hardianto.

Namun, di saat yang bersamaan, pandemi juga menimbulkan dilema. Risiko penularan penyakit zoonosis dari hewan ke manusia mungkin saja terjadi lewat praktik berburu. Kini, penduduk dan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendampingi Desa Punan Adiu, sedang merancang berbagai pilihan ekonomi alternatif sebagai sumber pemasukan baru. Salah satunya dengan optimalisasi pertanian dan ekowisata.

Sejatinya, pagebluk bukanlah hal yang baru bagi komunitas adat Punan Adiu.

Di masa lampau, kelompok suku akan pindah ke lokasi lain bila mara terjadi di tempat mereka. Kelompok suku tersebut mencari tempat baru yang menyediakan berbagai sumber untuk menyambung hidup. Keberadaan hutan begitu penting artinya bagi Suku Punan. Karena itu pula mereka mati-matian mempertahankan hutan adatnya ketika industri eksploitatif, seperti tambang batu bara dan perkebunan sawit, tak henti-hentinya mengincar tanah mereka.

ME_AR_LOW_00009

Pada tahun 2012, warga Punan Adiu mulai melakukan pemetaan partisipatif untuk mendata dan melindungi areal hutan adat. Perjuangan mereka akhirnya terjawab lima tahun kemudian. Pemerintah Kabupaten Malinau lewat Keputusan Bupati Malinau mengakui dan melindungi 17.414,93 hektare kawasan adat Punan Adiu. Bahkan pada tahun 2020, Pemerintah Pusat memberikan penghargaan Kalpataru kepada Punan Adiu atas kontribusi mereka dalam penyelamatan lingkungan. Melalui mekanisme perhutanan sosial, warga Punan Adiu mendaftarkan hutan adat kepada pemerintah pusat. Lewat pengakuan ini, mereka bisa mendapatkan hak penuh untuk mengelola dan menjaga hutan adat.

Daun Ketimang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan
mengusir roh jahat. Michael Eko Hardianto.

Filosofi leluhur Suku Punan mengajarkan konsep Lunang Tlang Ota Ine 'Hutan adalah Air Susu Ibu'. Ibarat anak-anak yang kembali ke pangkuan ibunya. Masa sulit dan penuh ketidakpastian ini menjadi momentum penyadaran, mengingatkan kembali betapa berharganya ekosistem hutan sebagai sumber ketahanan pangan utama dan suaka budaya.
 
Seorang ibu tidak akan meninggalkan anaknya sendirian. Begitu pula hutan bagi Suku Punan. Ibu tidak akan membiarkan anak-anaknya hilang dan sesat di dalam ketidakpastian. Selama kita menjaganya, alam akan senantiasa memberi jawaban atas setiap permasalahan yang menimpa manusia.

ME_AR_LOW_00008

Suku Punan Adiu percaya bahwa kayu Tampanlung dapat menjadi obat diare serta menangkal pandemi Covid-19. Michael Eko Hardianto.

ME_AR_LOW_00010
ME_AR_LOW_00011

(Kiri) Sekolah di Desa Punan Adiu tutup saat pandemi Covid-19. Tanpa guru, akses internet dan listrik anak-anak mengalami
kesulitan untuk sekolah daring. (Kanan) Grup paduan suara bernyanyi pada ibadat Minggu di Gereja Punan Adiu. Michael Eko Hardianto.

ME_AR_LOW_00012

Mariana dan kedua anaknya melakukan perjalanan pulang dari Malinau tempat mereka menjual
hasil bumi dan membeli kebutuhan pokok. Michael Eko Hardianto.

ME_AR_LOW_00014

Suasana Desa Punan Adiu di sore hari. Bila dahulu leluhur mereka tinggal berpindah-pindah di hutan,
kini Suku Punan telah menetap di kampung permanen. Michael Eko Hardianto.

Michael Eko Hardianto

Fotografer dokumenter yang fokus memotret isu-isu sosial, budaya dan lingkungan hidup. Selama satu dekade ia telah memotret komunitas-komunitas adat dan masyarakat yang berada di garda terdepan dalam menghadapi perubahan iklim dan beradaptasi atas konsekuensi sosial ekonomi, budaya yang timbul daripadanya. Ia percaya bahwa fotografi dapat membantu kita untuk berempati kepada sesama dan memicu dialog demi perubahan sosial.