Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Hari mulai mendung, dari atas kasur yang terbuat dari karung, Abok Achoi beranjak untuk mengangkat ikan asin yang ia jemur sejak pagi. Dengan mata rabun dan tubuh yang sudah membungkuk, perlahan ia menuruni dua anak tangga rumah yang terbuat dari kayu. Di atas sebilah seng, terlihat ikan seluang, cepras, dan ikan tanah yang mulai mengering.
“Ikan ini saya dapat dari aliran air Benak di dekat kebun,” kata Abok Achoi (73) yang tinggal bersama istrinya, Nek Yu (75). Keduanya adalah orang Mapur yang tinggal di wilayah Benak, lembah di antara Gunung Pelawan dan Gunung Cundong.
Selama ratusan tahun, wilayah Benak telah dihuni beberapa kelompok orang Mapur, suku Melayu tua yang tersebar di sekitar utara hutan Pulau Bangka yang menghadap Laut Natuna. Kini, mereka banyak tersebar di Dusun Pejem, Dusun Tuing, dan Dusun Aik Abik, semuanya masuk dalam wilayah Kabupaten Bangka. “Kalau dulu, masih banyak yang tinggal di sini, tapi sekarang hanya tersisa sekitar sepuluh rumah, sudah banyak yang pindah ke dusun,” ujar Abok Achoi.
Beberapa waktu lalu, anaknya pernah mengajaknya tinggal di Dusun Pejem agar ada yang memantau jika sewaktu-waktu sesak napasnya kambuh. Namun, ia memutuskan kembali ke hutan. “Kalau di dusun tidak tenang, suara motor berisik, banyak orang, lebih nyaman tinggal di Benak,” lanjut Abok Achoi yang telah menderita asma selama 10 tahun. “Dulu sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu, tak kunjung sembuh, berobat ke Puskesmas juga sudah beberapa kali, jadi ia lebih memilih pulang ke hutan,” sambung Nek Yu.
Salah satu pondok Suku Mapur di wilayah Benak yang mulai jarang ditinggali. Kini, hanya tersisa 10 rumah Suku Mapur di wilayah Benak yang masih ditinggali. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Nek Yu (75) menggunakan penutup kepala yang terbuat dari daun simpor (Dillenia). Ikatan spiritual Suku Mapur dengan hutan sangat kuat yang disertai dengan pengetahuan mereka akan berbagai tumbuhan obat di hutan. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Achoi (73) mengaku lebih suka tinggal di hutan meski kini ia menderita penyakit asma. Baginya, tinggal di hutan seperti memperpanjang umurnya. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Sejak kembali ke Benak, Abok Achoi merasa seperti berumur lebih panjang, meski asmanya belum sembuh, ia masih kuat dan rutin berkegiatan di kebun, seperti mengambil kayu bakar, memanen labu, terong, sahang, serta menangkap ikan dengan bubunya. Kebanyakan orang Mapur yang tinggal di Benak berumur panjang. Tidak jauh dari rumah Abok Achoi, ada Nek Anya yang telah berusia 110 tahun, kini sang nenek tinggal bersama ketiga anaknya, salah satunya Nek Aso yang berusia 68 tahun. Mereka memiliki tiga pondok.
Sekitar 200 meter dari rumah Nek Aso, ada Atuk Sukar yang berusia 67 tahun, ketua adat Suku Mapur di Dusun Pejem. “Bagi kami hutan adalah jantung kehidupan, karena menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup, khususnya obat-obatan,” kata Atuk Sukar. “Syukur belum ada terdengar orang Mapur di Benak ataupun di Dusun Pejem yang terkena COVID-19, mungkin karena kami rajin konsumsi makanan dan tumbuhan obat dari hutan,” lanjutnya.
Saat ini, tercatat sedikitnya 50 jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Mapur di Dusun Aik Abik dan Pejem. Penduduk menggunakan daun (35 persen), akar (29 persen) dan buah (8 persen) dari tumbuhan itu untuk berbagai keperluan. Famili tumbuhan obat yang ditemukan sebanyak 34 dari 43 jenis tumbuhan yang teridentifikasi. Tiga famili tumbuhan dengan jumlah jenis terbanyak Rubiaceae, Myrtaceae, dan Poaceae.
Pengeles umat, tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Mapur untuk mengurangi pendarahan seusai melahirkan. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Bonglai (Zingiber Purpureum Roxb), tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Mapur untuk mengobati alergi atau gatal-gatal pada kulit. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Belilik (Brucea Javanica [L.] Merr), salah satu tumbuhan yang mulai langka, biasa digunakan oleh Suku Mapur untuk mengobati penyakit malaria, gula, sakit perut, dan kencing manis. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack), tumbuhan obat yang digunakan Suku Mapur untuk mengobati malaria, sakit kepala, ngilu sendi, dan beri-beri. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Pengobatan dengan resep tunggal (satu jenis tumbuhan) dan resep campuran (berbagai jenis tumbuhan), tercatat sekitar 65 cara pengobatan, serta ada 7 tumbuhan yang sudah sulit diperoleh di sekitar wilayah Suku Mapur, seperti kebentak (Wikstroemia androsaemifolia Decaisne), kekupak, terung kecubung, kayu lubang, remambong (Glochidion Celastroicles), penedur urat (Vanilla Planiollia), dan mentangel (Hedyotis Rigida Miq).
Menurut Abok Gedoi, dukun sekaligus ketua adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik, sejumlah tanaman langka tersebut masih tersisa di sekitar Benak, khususnya di wilayah larangan seperti Bukit Tabun, Kasak Tade, Tumbek Aik Benak, dan Bukit Ijer.
“Sebenarnya banyak sekali tanaman yang dapat dijadikan obat. Tapi, setelah banyak hutan kami diambil perusahaan sawit, ya, sejumlah tanaman mulai sulit didapatkan di dusun ini, apalagi ada sejumlah tanaman yang hanya bisa tumbuh di hutan,” lanjutnya, di pondok kebunnya di kaki Bukit Semedang, Dusun Aik Abik.
Sejak 2006, perkebunan sawit skala besar mulai menggerus wilayah hidup Suku Mapur di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa Mapur, dan Desa Silip. Perusahaan ini mendapatkan izin perluasan dari pemerintah Kabupaten Bangka, seluas 13.565 hektar. Dusun Aik Abik yang masuk Desa Gunung Muda, banyak kehilangan hutan adatnya.
Gedoi (53), seorang dukun sekaligus Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik, berada di sekitar Air Terjun Kasak Tade, salah satu wilayah sakral bagi Suku Mapur. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Akar Item, salah satu tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Mapur untuk mengobati penyakit polip hidung. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Kepayang (Pangium Edule), salah satu tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Mapur untuk mengobati panas dalam. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Berdasarkan citra Google Earth tertanggal 26 Februari 2022, luasan Benak sekitar 2.876 hektar. Kini wilayah Benak dikelilingi perkebunan sawit, sementara hutan Bukit Tabun, yang merupakan sumber kehidupan khususnya obat-obatan bagi Abok Achoi, Nek Yu, Nek Aso, Nek Anya, Atuk Sukar dan lainnya hanya tersisa sekitar 2 hektar.
“Kami percaya jika hutan di Benak rusak tak bersisa, bencana akan menyerang umat manusia di dunia. Mungkin penyakit COVID-19 disebabkan rusaknya sejumlah hutan di sini,” kata Atuk Sukar.
Hasil penelitian selama delapan tahun oleh Teungku Sayyid Deqy menyatakan, di masa lalu, wilayah adat Suku Mapur disebut Karang Lintang. Membentang dari Mapur-Tuing [Selatan], Aik Abik-Gunung Muda [Barat], Pejem [Timur] hingga Simpang Tiga [Utara]. Jika dihubungkan dengan garis, bentangan wilayah itu berbentuk jajaran genjang. Titik tengahnya adalah Gunung Pelawan.
Perkebunan sawit telah menguasai wilayah Benak. Yang tersisa bagi masyarakat adat di sini hanya perbukitan. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Hadirnya perkebunan sawit banyak menghilangkan hutan serta pohon di sekitar wilayah Benak. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Gedoi (53) mandi di salah satu aliran sungai yang kini telah dikuasai oleh perkebunan sawit. Saat kecil, ia mengaku banyak menghabiskan waktu untuk mandi di sungai ini. Nopri Ismi untuk Kurawal.
“Wilayah ini dianggap sebagai teritori superior yang dijadikan pusat magis, serta dilindungi secara mistis, karena dianggap sebagai tempat suci,” tulis Deqy. Selain itu, wilayah Mapur juga dianggap memiliki kekuatan supranatural yang sangat tinggi, merupakan sentralitas kekuatan gaib, dan menjadi rujukan segala praktik perdukunan. Mapur adalah sentra magis di Pulau Bangka.
“Karang lintang juga disebut dengan wilayah 'Pemberat Bumi Bangka' yang menjaga Pulau Bangka agar tidak tenggelam,” tulisnya.
Menurut Abok Gedoi, terdapat hubungan spiritual yang kuat di antara orang Mapur dan hutan tempatnya tinggal. “Bagi kami, pohon, hutan, bukit, dan sungai memiliki roh, oleh karena itu harus dijaga dan hati-hati dalam memanfaatkannya,” katanya.
Hutan ibarat guru dan keluarga bagi Suku Mapur. Jika dirawat dengan baik, hutan akan memberikan yang terbaik. “Kalau hutan adat ini hilang, kami yang paling rugi. Kami hidup dari hutan, sehat karena hutan. Kami bahagia hidup di dalam hutan,” kata Nek Aso.
Nek Yu (75) duduk di ladangnya yang baru saja digarap. Kehadiran perkebunan sawit kian mempersempit ruang hidup Suku Mapur yang masih menerapkan sistem ladang berpindah. Nopri Ismi untuk Kurawal.
Jurnalis asal Kepulauan Bangka Belitung ini mulai terlibat di dunia jurnalistik sejak bergabung ke Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah. Fokusnya pada jurnalisme lingkungan bermula dari ketertarikannya pada berbagai aktivitas luar ruangan dan bidang ekologi. Mahasiswa S2 jurusan Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, ini sekarang sedang mengembangkan karier jurnalistiknya di Mongabay Indonesia.