Haru-Biru Kerah Biru
Fotografi dan Teks oleh Muhammad Zaenuddin
Tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) kian jamak terjadi selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Tak hanya mengganggu sistem kesehatan, hal ini juga mengakibatkan kesengsaraan bagi buruh di sektor informal. Adapun kebijakan jaminan ketenagakerjaan Indonesia–termasuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang baru saja diluncurkan–masih belum memayungi buruh di sektor informal yang jumlahnya mencapai 80 juta orang.
Buka di layar desktop untuk tampilan yang berbeda
Selasa sore, 17 Mei 2022, Pemerintah memutuskan pelonggaran kebijakan pemakaian masker di tempat umum. Ini dilakukan lantaran menurunnya kasus positif COVID-19 di Indonesia. “Jika masyarakat sedang beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang, maka diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker," ujar Presiden Jokowi saat memberi pernyataan pers di Istana Bogor, Jawa Barat.
Pandemi COVID-19 telah berlangsung sejak awal 2020 dan sejak itu memukul perekonomian indonesia. Sektor-sektor bisnis, terutama sektor industri pariwisata, keuangan, transportasi, pertambangan, konstruksi, dan retail mengalami pukulan telak—pihak perusahaan pun melakukan PHK massal atau merumahkan pekerja untuk sementara waktu.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan April 2021, 2,8 juta pekerja terkena dampak langsung akibat COVID-19. Mereka terdiri dari 1,7 juta pekerja formal yang dirumahkan dan 749,4 ribu mengalami PHK.
Syukur Syam (44), pria asal Kendari, Sulawesi Utara, bekerja di PT. Daya Radar Utama sejak 2003 hingga Mei 2021. Selepas di-PHK, pendapatannya dari mengojek kian tak menentu, terkadang ia membantu istrinya berdagang buah-buahan segar di Pasar Kober Tanjung Priok. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Puji Hartono (46) asal Pemalang, Jawa Tengah, bekerja sebagai petugas kebersihan sejak 2005 di PT. Daya Radar Utama (DRU). Ia di-PHK pihak pada September 2021 dengan alasan yang tidak jelas. Akibat PHK tersebut, ia terpaksa memulangkan keluarganya ke kampung halaman karena tidak memiliki pendapatan. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Suwiji Ningsih (42) bekerja di PT. Trinitas Mulia Abadi selama 20 tahun. Dengan alasan bangkrut, perusahaan garmen tersebut memberhentikannya beserta 150 karyawan lain pada 10 April 2020. Kemudian, PT. TMA berubah nama, sistem kerja dan merekrut karyawan baru dengan upah harian tanpa akses BPJS dan tunjangan lainnya. Suwiji Ningsih saat ini berjualan kelontong kebutuhan sehari-hari via aplikasi lokapasar. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Suwiji Ningsih (42), kerap disapa Wiwid, adalah salah satu karyawan pabrik di PT Trinitas Mulya Abadi, perusahaan garmen di Jakarta. Pada 10 April 2020, di tengah kerja, ia menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan. Bersama dengan 150 karyawan lainnya, ia diberhentikan kerja secara sepihak dengan alasan ditutupnya pabrik. Akan tetapi, setelah diselidiki, perusahaan rupanya tetap beroperasi. Perusahaan mengubah nama dan sistem kerja untuk kemudian merekrut karyawan baru yang diberi upah harian, tanpa akses BPJS dan tunjangan lainnya. Saat ini, Wiwid bersama 40 karyawan lainnya terus mengawal kasus ini bersama Serikat Buruh Garmen PT Trinitas Mulya Abadi (SBGTMA), serikat yang dinaungi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).
Tempat Wiwid bermukim di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, berjarak sekitar 60 kilometer dari tempat kerjanya. “Tuntutan menghidupi kedua anak agar tetap melanjutkan pendidikan tak membuat saya berhenti berupaya, sekarang saya jualan online aja, ya menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari via aplikasi,” ujar Wiwid saat ditemui di rumahnya. Ia belum menerima hak-haknya sesuai aturan. Di sela perbincangan, ia mengaku bahwa setelah mengalami pemutusan hubungan kerja, ia sama sekali tidak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun sembako sebagaimana yang diterima pekerja lain yang mengalami hal serupa.
Tak hanya Wiwid, Hal serupa juga menimpa Ahmad Sugiono (42). Ia adalah bapak dari dua anak yang di- PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi kerja.
Kendati telah bekerja selama 8 tahun di PT Daya Radar Utama, sebuah perusahaan konstruksi kapal di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara, pesangon yang ditawarkan pihak perusahaan hanya sebesar sepuluh juta rupiah. Ahmad tidak terima dan menolak diam karena menurutnya hal tersebut tidak setimpal dengan apa yang seharusnya ia peroleh.
Ia merasa negara tidak berperan dalam permasalahan masyarakat kecil. Nasib mereka sebagai buruh pabrik kian terancam. Menyiasati masa sulit ini, pria berambut gondrong itu mengamen menggunakan kostum Iron Man untuk tetap bisa menghidupi keluarganya.
Ahmad Sugiono (42) duduk diatas kursi dengan latar belakang hamparan sawah di halaman rumahnya. Bapak dua anak ini di-PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi kerja pada Agustus 2021 lalu. Ia menolak pesangon sebesar 10 juta rupiah dari perusahaan karena tidak setimpal dengan pekerjaannya selama delapan tahun. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Pengalaman Wiwid dan Ahmad hanya contoh kecil dari kisah ketenagakerjaan di Indonesia. Menurut data penanganan kasus ketenagakerjaan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH), setelah disahkannya UU Cipta Kerja, terjadi banyak kasus pelanggaran hak-hak buruh yang sebagian besar bersifat massal. Setidaknya terdapat 40 kasus, melibatkan 17.633 pekerja, yang mengalami kasus serupa di 10 provinsi, termasuk Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta.
Terjadinya PHK massal selama pandemi COVID-19 memukul kelompok buruh yang rentan. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti naiknya harga bahan pokok, jelas semakin memojokkan masyarakat kecil. Pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak buruh pun masih terjadi. Pemerintah seakan tutup mata terhadap perlakuan perusahaan yang membayar THR secara bertahap, merumahkan tanpa upah, mengurangi upah, atau mengkriminalisasi buruh yang bersikap kritis.
Tak hanya berdampak pada karyawan pabrik saja, rupanya hal serupa juga dialami Wanty Soraya (41), seorang transpuan yang berprofesi sebagai penata rias di sebuah klub malam di wilayah Jakarta Barat. Ia harus menerima pil pahit akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kelompok transgender—terutama waria (transgender perempuan)—mengalami kelaparan, juga kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal selama pandemi. Banyak dari mereka tidak mendapat bantuan dari pemerintah karena tidak memiliki KTP.
Para transpuan itu berbeda nasib dengan masyarakat umum yang lebih mudah mendapatkan layanan dan bantuan pemerintah. Banyak transgender, terutama waria, tidak memiliki kesempatan yang sama, karena di Indonesia transgender dianggap sebagai perilaku menyimpang, umumnya keluarga menolak keberadaan mereka, sehingga banyak waria melarikan diri dari rumah tanpa membawa kartu identitas. Mereka menghadapi penolakan dan sulit mencari kerja, prasangka medis, juga menerima gaji yang lebih rendah.
Metha Gurita (43), transpuan yang berprofesi sebagai perias wajah di salah satu klub malam di Jakarta Barat. Setelah bekerja enam tahun dengan upah 1,3 juta rupiah per bulan, ia meminta untuk diberi upah layak pada perusahaan. Pihak perusahaan menolak dan memberhentikannya pada April 2022. Metha tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah selama masa pandemi. Ia hanya mendapat bantuan dari para relawan. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Wanty Soraya (41), berprofesi sebagai perias wajah sejak 2008. Selama 14 tahun lamanya ia tidak mendapatkan jaminan kesehatan seperti BPJS dan tunjangan lainnya dari tempatnya bekerja. Kemudian ia dikeluarkan karena menuntut hak-haknya sebagai pekerja. Seperti transpuan lainnya, ia juga kesulitan mendapatkan akses bantuan, baik kesehatan maupun sembako, selama pandemi. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Pemahaman masyarakat terkait ekspresi gender masih terbilang minim, hal ini didukung bagaimana media merepresentasikan mereka yang mengafirmasi stigma masyarakat terhadap mereka. Banyak dari mereka diintimidasi dan dipermalukan sepanjang hidup mereka. Teman-teman trans tidak mendapat akses lapangan kerja yang layak lantaran mereka tidak memiliki KTP yang dipengaruhi faktor stigma dari masyarakat ini. Walhasil, banyak waria yang lantas memilih bekerja di sektor informal dengan tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai.
Omnibus Law sendiri merupakan aturan sapu jagat yang hingga saat ini ditolak habis-habisan oleh berbagai pihak, termasuk buruh. Selain proses penyusunannya yang dianggap bermasalah, materinya pun dianggap merugikan bagi buruh.
Dua tahun setelah disahkannya UU Cipta Kerja, perlindungan bagi buruh pun semakin menipis. Selain dihantui PHK massal, para buruh juga menghadapi kemungkinan pihak perusahaan yang berlaku curang dan merugikan kaum buruh—sebagaimana efisiensi kerja yang dihadapi oleh Wiwid, Ahmad, dan Wanty. Kita patut menilik kembali bagaimana negara ini melaksanakan mandat “perlindungan” dan “pemenuhan” hak terkait perburuhan.
Syanfranedy (50) telah bekerja di PT. DRU selama 18 tahun. Pada Mei 2021, ia menerima surat PHK tanpa musyawarah. Syanfranedy menduga hal itu dilakukan karena ia terlibat dalam perserikatan buruh. Sementara ini, ia menjadi buruh serabutan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Yeni (33), usai di-PHK pada 27 April 2022, ia menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya berusia dua tahun dengan mengojek. Ia di-PHK dengan alasan yang tidak jelas oleh perusahaan retail pakaian. Menurutnya, pemutusan kontrak ini karena ia tidak mau turut memberikan suap kepada atasannya seperti karyawan-karyawan lain. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Johansyah (42) diberikan surat PHK per Juni 2021 dari pihak perusahaan dengan alasan efisiensi kerja. Saat ini, ia mencari nafkah dengan mengamen menggunakan kostum ksatria baja hitam dengan ongkos sewa 70 ribu rupiah. Sesekali ia kerap meminjamkan kostum sewaannya kepada rekan seperjuangan untuk mendapatkan makan. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Rasta (43) bekerja di PT. Daya Radar Utama selama 15 tahun. Statusnya sebagai ketua serikat Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) membuat dirinya menjadi orang pertama yang di-PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi kerja per 17 Mei 2021. Demi menghidupi keluarganya, saat ini ia menjadi kenek bangunan dengan upah harian. Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Meski Undang-Undang Cipta Kerja telah dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”, tetapi undang-undang tersebut masih menjadi momok yang menakutkan bagi buruh. Dampaknya secara luas ke masyarakat juga cukup jelas.
Padahal, upah layak tidak hanya dapat memberantas kemiskinan, tetapi juga menjawab berbagai target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sebagai bagian dari program Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu tujuan yang tercantum dalam SDGs adalah “pekerjaan layak bagi semua”, dan pemasukan yang adil adalah komponen inti dari pekerjaan layak. Pemberantasan kemiskinan juga dapat memberikan akses pada rumah, makanan, dan kesehatan.
Di tengah pandemi ini, terlepas dari harapan “pekerjaan layak bagi semua”, pihak perusahaan melanjutkan kesewenang-wenangannya terhadap para buruh. Lemahnya payung hukum bagi para buruh terasa kian nyata, berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak meski kerap terbendung oleh aturan birokrat. PHK membuat sebagian besar buruh di tengah pandemi ini kehilangan arah hidup. Meski demikian, peristiwa ini tidak melemahkan mereka, justru memotivasi dan memantik mereka untuk lebih vokal menyuarakan hak-hak buruh dan mengecam kekerasan serta mengupayakan pendampingan bagi sesama buruh.
Dadan (27), pria asal Sukabumi, menerima surat PHK dari perusahaannya melalui pesan WhatsApp. Empat bulan setelah di-PHK, rumah tangga yang baru ia bangun pada 2019 turut hancur. Ia saat ini masih pengangguran dan menumpang tidur di sekretariat Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI). Muhammad Zaenuddin untuk Kurawal.
Jurnalis foto asal Jakarta yang tertarik pada isu lingkungan dan perubahan sosial. Ia mengawali karier sebagai jurnalis foto melalui Zuma Press Agency pada 2019. Beberapa karyanya telah mengikuti sejumlah pameran dan festival, seperti Pameran Foto Kisah-kisah Tanah Manusia (Jakarta, 2019), Solo Photo Festival (Solo, 2019), City Vs Quarantine (Ukraina, 2020) dan Projection Night JIPFest (Jakarta, 2021). Pada ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2022, foto ceritanya terpilih sebagai Foto Esai Terbaik kategori General News. Penerima Permata Photojournalist Grant 2021 ini sekarang bekerja di Katadata.co.id.